Kamis, 27 Agustus 2009

Tuhanpun Menyuruh Memilih

Tuhan pun Menyuruh Memilih !!

(Pendekatan Paradigma Al Qur’an Tentang Pilkada)
Drs Safwan Khayat M.Hum


Katakanlah ; Akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang melakukan perbuatan yang sia-sia
dalam kehidupan ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka
telah berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al Kahfi 103-104)


Sebelumnya penulis mengajak kita semua untuk membuka ruang diskusi ke arah yang lebih substantif bahwa manusia diutus di muka bumi di daulat menjadi pemimpin (khalifah). Al Qur’an (baca Al Baqarah 30-39) menerangkan bahwa kepemimpinan manusia di muka bumi melalui simbolistik figuritas Nabi Adam memiliki psikososial yang paling tepat dalam mengemban amanat kepemimpinan. Diciptakannya gunung, laut, sungai, pohon dan seluruh isi alam jagat raya ini guna mengatur irama sujud melalui manajerial kepemiminan tidak mampu diembannya dengan sempurna. Dijadikannya hewan dan makhluk bangsa Jin dalam mengatur lintasan dinamika waktu yang telah dibentangkan Tuhan, ternyata manusia jauh lebih berkemampuan untuk menjalankan tugas kekhalifahan di muka bumi. Dasar ini pula menjadi deskripsi sosial bahwa setiap pemimpin (khalifah) ada yang memilih dan ada pula yang dipilih agar tercipta suatu keteraturan dalam menjalankan sistem kepemimpinan.
Di dalam sistem kepemimpinan tentulah dibangun suatu struktur organisasi atau pemerintahan yang biasanya dipimpin oleh seorang pimpinan atau kepala. Agar tidak keluar meluas dari target diskusi kita, konteks tulisan ini hanya menyentuh substansi manusia agar tidak sia-sia dalam menjalankan amanat-Nya bahwa Tuhan pun menyuruh memilih seorang pemimpin. Tentu saja tulisan ini mencari korelasi atas sebuah agenda politik terhadap pemilihan pimpinan pemerintahan (Kepala Daerah/Wakil) yang saat ini sedang berjalan di beberapa daerah, khususnya Sumatera Utara.
Di awal tulisan ini, penulis sengaja menampilkan Kalam Ilahi yang menjelaskan bahwa perilaku merugi adalah perbuatan yang sia-sia yang pernah dilakukan dalam kehidupan sosial. Bahkan yang lebih meruginya lagi, seseorang merasakan perbuatannya telah bertindak benar, padahal perbuatannya justru membohongi diri, keluarga dan orang lain. Bisa jadi dirinya berbuat pada kepentingan yang semu tidak menyentuh kemaslahatan, kebenaran dan keadilan. Sebagai warga apakah kita sia-siakan kesempatan dan potensi diri untuk melepaskan keadaan yang sepatutnya kita sendiri yang menentukan (berhak) ? Sebagai pemimpin adakah telah kita perbuat sebuah kebijakan dan peraturan yang tidak menyiakan rakyat ? Sebagai calon pemimpin mendatang betulkah niat diri memimpin daerahnya hanya bukan karena perilaku yang sia-sia saja ?
Bayangkan, berapa banyak waktu, fikiran, harta dan tenaga yang dikeluarkan untuk meraih jabatan pimpinan bila hanya untuk perbuatan yang sia-sia ? Berapa lagi keseluruhan yang telah dikeluarkan tadi harus tergantikan demi menjaga perbuatan sia-sia tersebut ? Sungguh suatu kenistaan bila ditemukan kesia-siaan perilaku itu menjadi “terlembaga” bila kita tidak menyadari, sementara mereka merasa perbuatannya itu benar.
Dalam Surat Al Ashr ayat 1-3 Allah SWT bersumpah ;
“Demi Masa. Sesungguhnya semua manusia tetap berada dalam kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman dan selalu melakukan perbuatan yang tidak sia-sia lagi baik, selalu memberikan saran (nasehat) yang konstruktif (benar-membangun), dan selalu pula memberikan saran (nasehat) yang bernafas keagamaan (kesabaran)”

Sumpah Allah SWT ini adalah Sumpah Yang Maha Paling Benar, suatu sumpah di atas sumpah yang tidak ada lagi tertinggi selain Sumpah yang disampaikan melalui pesan ayat tersebut. Jaminan yang Allah berikan dari tafsir ayat di atas terkandung 3 (tiga) makna penting bahwa manusia yang beruntung di sisi Allah adalah; 1) melakukan perbuatan yang tidak sia-sia (diri, keluarga dan orang lain), 2) selalu memberikan saran yang konstruktif, dan 3) selalu memberikan saran yang bernafas keagamaan.

Islam Harus Memilih
Mungkin sebagian orang menilai, tidak menyalurkan pilihan terhadap salah satu kandidat adalah juga bagian dari sikap pilihan politiknya. Walaupun sebagian lain tetap bertahan bahwa memilih dengan tidak memilih adalah dualisme sikap diri yang ambiguitas (berlawanan) yang nilainya pasti berbeda. Sebagai umat Islam yang meyakini bahwa Al Qur’an sebagai pedoman hidup (way of life) yang berisikan firman Tuhan dengan penuh kebenaran, maka sepatutnyalah kita harus meneladaninya sebagai doktrin perintah Allah SWT.
Dasar pertama mengapa umat Islam harus memilih adalah rujukan Surat Al Baqarah ayat 30 yaitu :
“Sesungguhnya Aku menjadikan umat manusia (Islam) sebagai seorang pemimpin (khalifah) di muka bumi”.

Rujukan ayat ini menjadi dasar bagi umat manusia (khususnya Islam) dijadikan sebagai pemimpin dan harus tampil sebagai pemimpin. Terkait dengan diskusi kita yang telah penulis batasi, konteks tulisan ini menelaah paradigma Al Qur’an tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bahwa Tuhan pun menyuruh umat Islam untuk menentukan pilihannya.
Paradigma Al Qur’an mendeskripsikan bahwa umat Islam harus menentukan sikap politiknya dalam menyampaikan amanat kepemimpinan kepada seseorang. Allah melalui Al Qur’an menyuruh umat Islam agar segera menyampaikan amanatnya (memilih pemimpin) kepada orang yang berhak menerima amanat itu.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu (umat Islam) menyampaikan amanat (sikap politik) kepada figur yang berhak menerimanya (calon pimpinan), dan tetapkanlah pilihan mu itu dengan ketetapan hukum yang adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An Nisaa’ 58).

Perintah Tuhan menyuruh umat Islam untuk memilih adalah perintah yang tidak bisa ditawar lagi. Bagi siapa saja yang mengekang atau meniadakan perintah Allah sebagaimana yang kita yakini sama halnya kita telah mengingkari-Nya.
Dalam ayat lain Allah juga menyerukan kepada kita agar mempersiapkan diri untuk tampil mengarungi bahtera perpolitikan guna mempertahankan eksistensi dan marwah Islam khususnya memimpin pemerintahan.
“Duhai orang yang beriman, bersiap siagalah selalu kamu dalam setiap waktu, dan majulah ke pentas pertarungan (raih kepemimpinan) dengan kekuatan yang berkelompok atau majulah bersama-sama. Sesungguhnya di antara kamu ada orang yang keberatan untuk mendukung perjuangan mu. Jika kamu mengalami kekalahan (musibah) mereka berkata : Tuhan berada dipihak ku, karena aku tidak ikut mendukung mu. (QS. An Nisaa’ 71-72).

Fenomena ayat ini telah pula menjadi tampilan sosial bahwa tetap saja sikap politik dalam memilih atau tidak memilih menjadi diskursus sosial. Tetapi sebagai komunitas Islam yang meyakini Al Qur’an bahwa Tuhan pun menyuruh memilih selalu terjaga jika perilaku politik tetap dalam kerangka (framework) perbuatan tidak sia-sia secara komprehensif dan selalu berpegang teguh pada jalan Allah dengan memberikan saran (nasehat) yang konstruktif dan saran (nasehat) yang bernafas keagamaan. (QS.Al Ashr 1-3).
Jika kita tidak menentukan sikap pilihan kepada seorang kandidat, sekalipun telah terjadi keraguan, kegalauan dan mungkin kekhawatiran atas calon pilihan kita, penulis berkeyakinan bahwa hak-hak kita sebagaimana yang perintah Allah dalam surat An Nisaa’ 58 telah sia-sia. Lantas bagaimana sikap kita dalam memilih jika tidak sia-sia dalam menentukan hak tersebut, Al Qur’an mengajarkan kepada kita pilihlah yang Amanah dan Adil. Amanah dan adil yang dimaksud adalah amanah dan adil dalam bertindak, melahirkan keputusan dan berbicara.
“Dan janganlah sekalipun kebencianmu terhadap suatu kelompok yang akhirnya mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan Taqwa” (QS. Al Maaidah 8).

Penutup
Pilkada sebagai sebuah fenomenum telah banyak menghabiskan energi cukup besar. Bukan saja energi material yang kelihatan dalam setiap peristiwa politik, tetapi juga telah mengeluarkan energi kemanusiaan yang sesungguhnya telah dimaktub di dalam Al Qur’an. Pilkada mampu menembus kekuatan demokrasi yang didambakan manusia, tetapi Pilkada juga mampu meluluhlantakkan bangunan ukhuwah sosial. Oleh karenanya, hasil Pilkada dalam paradigma Al Qur’an hendaklah dipatuhi sebagaimana perintah Allah dalam surat An Nisaa’ 59 ;
“Hai orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul(Nya) dan pemimpin di antara kamu. Jika kamu berselisih pendapat (visi) tentang sesuatu (konsep/arah kebijakan pembangunan daerah), maka cobalah rujuk Al Qur’an (Allah) dan Sunnah (Rasul). Jika kamu meyakini agama mu (beriman), sikap seperti itu lebih baik manfaat dan akibatnya”

Artifisialis dari paradigma ayat ini mengajarkan sebuah pesan bahwa ajaran Islam menghargai perbedaan, menjauhi permusuhan yang menjurus kerusuhan sosial dan menjunjung tinggi emosi rasionalitas dengan merujuk dasar-dasar keagamaan manusia yang meyakini mengambil manfaat daripada akibat. Mudah-mudahan Pilkada di Sumatera Utara berjalan dengan santun, tertib, religius dan beradab. Semoga...!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar