Kamis, 27 Agustus 2009

Kamis, 2008 September 11
Mengugat Akar Kemiskinan
Kompol Drs Safwan Khayat M.Hum

Kondisi kemiskinan menjadi masalah issu mendunia yang bukan saja ditemukan pada masyarakat pedesaan, juga tidak sedikit dijumpai pada pola interaksi kehidupan masyarakat perkotaan. Disadari atau tidak, banyak pihak melirik persoalan kemiskinan berputar pada tataran gejala sosial yang terlihat (tampilan) pada permukaan saja. Misalnya, ditemukan salah satu ciri umum kondisi fisik kemiskinan yang tidak memiliki akses prasarana dasar lingkungan yang kurang memadai, kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar kelayakan, mata pencaharian yang tidak menentu dengan rendahnya pendapatan ekonomi keluarga. Gejala sosial ini biasanya selalu menjadi tolak ukur dalam menelaah tataran kondisi fisik kemiskinan dengan meneropong pola kehidupan masyarakat pinggiran yang berada di perkotaan.
Pada dimensi kehidupan sehari-hari, gejala kemiskinan yang muncul dalam social setting diantaranya ;
Pertama, Dimensi politik, biasanya terjadi dalam bentuk tidak ditemukannya wadah/organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka terus semakin terpinggir bahkan menjurus tersingkir dari suatu pola pengambilan keputusan yang teramat penting berkaitan masa depan hidup mereka. Mereka juga tidak memiliki kemampuan menguasai akses yang menunjang menuju sumber daya penting yang dibutuhkan guna menyelaraskan pola hidup mereka yang layak.
Kedua, Dimensi sosial, muncul ke dalam bentuk tidak terkoordinir warga miskin khususnya ke dalam institusi sosial yang ada, bahkan budaya kemiskinan terinternalisasi ke dalam etos kerja mereka yang berakibat buruk bagi kualitas sumber daya diri dan memudarnya nilai-nilai kapital sosial.
Ketiga, Dimensi lingkungan, tampilan yang kelihatan dalam bentuk sikap, perilaku dan cara pandang yang lemah dan kaku, kurang berorientasi masa depan sehingga cendrung melahirkan keputusan dan melaksanakan aktifitas yang kurang selaras dengan kelestarian lingkungan sekitar.
Keempat, Dimensi ekonomi, kelihatan jelas dalam bentuk penghasilan yang rendah sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sampai batas layak.
Kelima, Dimensi asset, rendahnya tingkat kepemilikan dalam bentuk asset yang menjadi bagian dari modal hidup mereka dan lemah pula asset kualitas sumber daya manusia (human capital), modal usaha dan peralatan kerja.
Disamping kelima dimensi yang menjelaskan tentang gejala kemiskinan, beberapa pendekatan yang dijadikan karakteristik kemiskinan diantaranya ; a) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar seperti pangan, sandang dan papan, b) ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya misalnya kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi, c) ketiadaan jaminan masa depan karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga, d) kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal, e) rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam, f) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat, g) ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan, dan h) ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial seperti anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil.
Dalam konteks politik, Friedman mendefenisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi; 1) modal produktif atau asset seperti tanah, perumahan, alat produksi dan kesehatan, 2) sumber keuangan seperti pekerjaan dan kredit, 3) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama misalnya koperasi, partai politik dan organisasi sosial, 4) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa, 5) pengetahuan dan keterampilan, dan 6) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.


Akar Kemiskinan
Dimensi kemiskinan juga dapat diartikan sebagai bentuk pola perilaku yang disebabkan adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di tengah masyarakat. Faktor penghambat tersebut yang menjadi akar kemiskinan yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Sebab faktor internal adalah diawali datangnya dari dalam diri si miskin itu sendiri seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori “kemiskinan budaya” (culture poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang miskin seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya.
Disisi lain, faktor eksternal dalam prosesnya datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumber daya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan struktural yakni terjadi bukan karena “ketidakmampuan” si miskin untuk bekerja (malas) melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja.
Dari kedua faktor ini, paradigma kemiskinan dapat diukur melalui telaah konsep yang menjadi indikator kemiskinan itu sendiri misalnya adanya pembedaan kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Dalam konteksnya, kemiskinan absolut dan relatif keduanya muncul memiliki masing-masing sebab dan meluasnya masyarakat miskin diperkotaan. Tentu saja, setiap bentuk kemiskinan yang tampil dalam realitas sosial perlu digagasi strategi penanggulangannya agar bentuk kemiskinan itu tidak meluas.
Berbagai program penanggulangan kemiskinan dalam kenyataannya sering menghadapi suatu kondisi yang kurang proporsional dan menguntungkan, misalnya salah sasaran, terciptanya benih fragmentasi sosial dan mengkrucutnya nilai-nilai kekuatan kapital sosial seperti sikap gotong royong dan kemandirian. Proses pengkrucutan ini membawa bias terhadap munculnya pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang semakin jauh dari sikap dan semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara kolektif. Ditengah masyarakat muncul sikap “pengemisme” sebagai kelompok peminta yang menunggu belas kasihan dan uluran tangan dari pihak tertentu.
Kondisi ini terus berlanjut bila disertai adanya perilaku masyarakat yang memudar etos kerja dan daya juang untuk keluar dari lingkaran pola perilaku kemiskinan. Salah satunya yang ikut sebagai faktor penyebab adanya ketidak adilan keputusan, kebijakan dan tindakan pengelolaan pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemimpin masyarakat (pemerintah) terhadap masyarakatnya. Sikap pemimpin seperti ini justru memperlebar ruang penyekat dan kecurigaan, stereotype dan skeptisme di mata warga miskin.
Akar kemiskinan yang ditengarai oleh kedua faktor di atas membuat kondisi kemiskinan akan tetap terus bertahan. Kemiskinan yang disebabkan faktor internal melahirkan bentuk kemiskinan kultural (culture poverty) seperti etos kerja dan daya juang yang lemah, bersandar pada nasib dan belas kasihan, sikap masa bodoh dan tidak percaya diri, meraih pendapatan berdasarkan kebutuhan singkat, tidak memiliki modal kapital sosial, lemahnya orientasi obsesi hidup, sikap kecurigaan yang berlebihan, membatasi bentuk pergaulan sosial, dasar pendidikan yang tidak menunjang dan tidak menerima perubahan sosial.
Faktor eksternal juga ikut “memicu” pertumbuhan angka kemiskinan bagi masyarakat perkotaan. Faktor eksternal membawa dampak pada bentuk kehidupan kemiskinan struktural (structure poverty) seperti hasil keputusan, kebijakan dan tindakan pemerintah yang tidak adil, sempit dan berbelitnya dukungan permodalan bagi pelaku usaha UKM, keberpihakan kepada pengusaha elitis, lemahnya sistem ekonomi guna menurunkan angka kemiskinan dan kuatnya orientasi kepentingan politik yang berlebihan.
Keadaan ini harus kita rubah dengan menggugat akar kemiskinan yang selama ini terus berlanjut di sekitar kita. Gugatan yang harus segera dilakukan khususnya dalam bentuk mengurangi angka kemiskinan adalah dengan memperbaiki sikap dan pandangan masyarakat yang senantiasa berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan (moral), prinsip-prinsip sosial dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Perubahan sikap dan pandangan yang positif merupakan perubahan perilaku guna memperkokoh terbangunnya lembaga masyarakat yang mandiri, menyadari tujuan hidup guna mengangkat harkat dan martabat diri dan meyakini bahwa hidup bukan hanya untuk makan, tetapi punya tanggungjawab sosial yang tinggi. Perubahan ini sekaligus sebagai bentuk gugatan kita terhadap diri sendiri bahwa kita harus melawan kemiskinan kultural yang bersumber dari diri sendiri yang sekaligus sebagai tergugat pertama.
Kebijakan penting yang berpihak pada penyelamatan nasib kelompok miskin juga menjadi sasaran gugatan kita. Peran pemerintah dalam melahirkan program peningkatan perekonomian warga harus terus kita kritisi. Dukungan dan dorongan pemerintah yang lemah menambah daftar kemiskinan masyarakat. Sikap kita adalah dengan menyusun langkah yang strategis, fungsional dan tepat sasaran agar kelompok miskin dapat keluar dari keterhimpitan ekonomi. Pemerintah harus pula melawan kemiskinan struktural yang ditimbulkan dari lemahnya manajerial organisasi. Guna melawan kemiskinan struktural dibutuhkan sikap dan moral pejabat yang jujur, bersih, berorientasi kerakyatan dan selalu berfikir agar rakyat tidak bodoh dan lapar. Kemiskinan yang bersumber dari keputusan yang tidak adil sekaligus dijadikan sebagai bentuk tergugat kedua.

Penutup
Jika saja akar kemiskinan telah menjalar di tengah kehidupan ini yang telah merasuki ke dalam pola sikap, pandang dan kebijakan, maka kita pulalah yang paling tepat menggugatnya. Dengan menggugat akar kemiskinan sama pula kekuatannya dengan melawan diri, masyarakat, bangsa dan negara memerangi kelaparan dan kebodohan. Masyarakat lapar dan bodoh sangat identik dekat dengan kemiskinan, tetapi masyarakat yang melaparkan diri dan membodohi diri sama pula kekuatannya dengan kemiskinan. Ilustrasi inilah yang penulis katakan sebagai bentuk kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Dengan menggugat akar kemiskinan maka kita telah menggungat diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Mudah-mudahan kota Medan ini dengan segenap penghuni meyakini bahwa menggugat akar kemiskinan telah menjauhkan kita dari rasa lapar dan masa bodoh.



Drs. Safwan Khayat. M.Hum
Penulis Alumnus SMA Neg.I Medan, Alumnus Univ.Medan Area ,Dosen Universitas Medan Area, Alumnus Pasca Sarja USU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar