Senin, 24 Januari 2011

Barack Obama dan Burung Beo

Barack Obama dan Burung Beo
Oleh
Drs SAFWAN KHAYAT MHum
Mas Barma atau nama lengkapnya Subarma, sehari-hari sibuk menjajaki kios dagangan bakso yang letaknya persis di pinggir jalan raya. Rutinitas kesehariannya terasa padat, dimulai dari membeli bahan dagangan, mengolahnya dan menjualnya. Aktifitas ini dilaluinya sudah berjalan 11 tahun bersama istrinya Mbak Karsi atau nama lengkapnya Siti Karsinah.
Mas Barma dan Mbak Karsi menikah 15 tahun yang lalu, hingga saat ini mereka belum juga menggendong seorang anak yang lama diidamkan. Mereka rindu juga tangisan seorang anak, tetapi Tuhan belum memberi mereka rezeki untuk menimang seorang bayi. Tapi mereka tetap berkasih sayang hidup rukun, akur dan saling pengertian.
Biasanya kios bakso di buka pukul 16.30 WIB (sore hari). Mereka tinggal bersamaan dengan kios baksonya. Rumah berukuran 4 x 6 di bagi dua. Separuh untuk tempat tinggal, sisanya lagi buat kios bakso. Cukup sempit dan memprihatinkan memang.
Sebelum di buka, biasanya pula mas Barma memberi makan binatang peliharaannya seekor burung Beo yang sudah 3 tahun bersama mereka. Beo inilah pengobat kesedihan dan kesepian mereka. Beo ini pula yang menjadi hiburan mereka, sebab si Beo pandai berbicara.
Mas Barma dan Mbak Karsi sangat sayang dengan si Beo. Mereka memperlakukan si Beo sudah menjadi bagian dari anggota keluarga. Bukan saja diberi makan, si Beo juga selalu dimandikan. Terkadang dilakukan Mas Barma sendiri, terkadang pula isterinya.
Kandangnya pun diletakkan disamping televisi (TV) berukuran 21 inc yang letaknya dekat stelling kios bakso. Pelanggannya pun terhibur dengan tingkah dan ulah si Beo. Sambil makan bakso, pelanggannya menyempatkan diri mengajak si Beo berbicara. Si Beo yang pandai berbicara, bisa menirukan beberapa kata yang acap didengarnya melalui suara yang keluar dari TV itu. Mas Barma lebih sering menonton TV, sementara istrinya hampir dipastikan jarang menonton TV. Karena kesibukan, Mas Barma hanya menonton siaran berita saja. Walau ia penjual bakso, ia juga tak mau ketinggalan soal perkembangan berita terkini.
Selama 2 pekan ini, seluruh siaran TV Swasta menayangkan pemberitaan tentang Barack Obama Presiden Amerika Serikat akan datang ke Indonesia . Mulanya Mas Barma tak begitu tertarik dengan berita itu. Sebab baginya terlalu naif mengikuti perkembangan berita yang kualitasnya tak sesuai dengan standard dirinya. Mas Barma lebih suka berita dalam negeri seperti Century gate, cicak versus buaya, makelar kasus (Markus), pentas pilkada dan penangkapan teroris. Tetapi apa mau di kata, dominasi berita lebih banyak menyiarkan tentang Barack Obama.
Si Beo pun ikut keranjingan. Dari paruhnya, si Beo fasih mengucapkan Century gate, cicak versus buaya, markus dan teroris. Sebab, kata-kata itu kerap tersebut dari seorang wanita si pembawa acara berita di balik layar TV itu. Tapi kali ini, paruh si Beo lebih sering menyebut nama Obama. Begitulah si Beo, ia hanya bisa menyebut, tak perduli apa maksudnya. Kalau berita pekan ini menyebut tentang sesuatu, maka si Beo latah pula meramaikan pembicaraan di balik peristiwa berita itu. Jikalau pula pemberitaan tak lagi mengangkat persoalan lain, maka si Beo ikut pula mengoceh soal berita lain. Bagi si Beo, yang penting sebut, oceh dan ramailah pembicaraan. Soal orang yang mendengar mengerti atau tidak, setuju atau tidak, damai atau ribut, yang penting oceh saja.
Pemberitaan pun semakin panas, pro dan kontra muncul tentang niat kedatangan Obama ke Indonesia . Ada yang setuju, tak sedikit pula yang menolak. Analisis pakar dan politisi mengalir deras dibalik kaca layar TV. Tak jarang pula teriakan penolakan dibalik aksi demonstrasi terus berdatangan. Tapi bagi si Beo berita ini semakin menambah kefasihan bila menyebut nama Barack Obama. Awalnya si Beo hanya bisa menyebut Obama saja, tapi kini ia sudah bisa menyebut nama lengkap Barack Obama.
Bagi keluarga Mas Barma, kepandaian si Beo bukanlah hal yang aneh. Burung peliharaannya itu memang cukup cepat menirukan kembali ucapan seseorang yang sering didengarnya.
Seperti biasa, setiap pelanggan singgah ke kios bakso mereka. Sambil menunggu bakso disiapkan, para pelanggan usil menganggu ketenangan si Beo dalam kandanganya. Seorang ibu bersama 2 orang anaknya mendatangi si Beo. Sore Beo ? sapa si Ibu. Sore bu! sore bu ! jawab lincah si Beo. Siapa yang mengajarkan mu bicara ? tanya si Ibu lagi. O.. bama, jawab Beo. Siapa ? desak si Ibu. O.. bama ! tegas si Beo. Ibu itu tersenyum sambil menggeleng-geleng kepala. Dasar si Beo, sudah demam Amerika dia, gumam hati si ibu.
Hitungan menit, pesanan bakso si Ibu dan anaknya sudah siap saji di meja makan. Si ibu bergegas menuju meja makan sambil menyantap bakso pesanannya. Berselang 2 menit, masuk sepasang kekasih singgah ke kios itu. Mereka langsung duduk di meja persis di samping kandang Beo. Mulanya sepasang kekasih itu tak menggubris si Beo. Tangan mereka terus bergenggaman bagaikan bulan madu yang tiada berhenti. Hampir 10 menit mereka duduk tanpa memesan satu makanan pun. Tak lama datanglah suara pelayan menawarkan makanan. Mau pesan apa ? ucap suara itu. Bakso dua ya ? sahut si pemuda. Minumnya apa ? ucap suara itu. Teh manis dingin saja ! jawab mereka.
Sepasang kekasih itu heran, ternyata suara pelayan itu datangnya dari paruh si Beo itu. Spontan sepasang kekasih itu terfokus pada si Beo. Si Pemuda mulai usil mengganggu si Beo. Kamu tadi yang bicara ? tanya si pemuda. Ia, benar ! sahut Beo. Siapa yang mengajari ? tanya pemuda itu lagi. O… Bama, jawab Beo. Siapa ? tanya pemuda itu. O... Bama! Tegas Beo. Presiden Amerika itu, tekan pemuda itu lagi. Bukan Obama itu, tapi mas Bama, jawab Beo. Karena si Beo tak bisa melafaskan huruf “R” (er), maka ia sebut Bama saja. Andaikan ada yang bertanya siapa yang mengajarkan ia bicara, si Beo pasti menjawa ; O… Bama.
Akhirnya, si Beo membawa rezeki bagi Mas Barma. Pelanggannya semakin banyak sambil menyaksikan kefasihan si Beo berbicara. Orang-orang sering menjuluki kios bakso Obama. Sebab, julukan itu keluar dari paruh si Beo peliharaan Mas Barma.
Julukan itu tak membuat risih telinga mas Barma. Malah kiosnya semakin ramai saja akibat julukan itu. Tetapi bagi si Beo, ramai atau tidak kios mas Barma, ia tetap seekor burung yang hanya bisa menyebut tanpa memahami dampak yang terjadi. Terkadang ucapan bisa membawa kebaikan, tetapi tak jarang lewat ucapan juga bisa membawa malapetaka. Berhati-hatilah berbicara dan jangan ikut latah. Tetapi bagi si Beo, kelatahannya membawa berkah bagi mas Barma. Berita tentang Obama dan latah di Beo membawa sumber rezeki baginya.

*Penulis, Alumnus SMA Negeri 1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pascasarjana USU Medan, Ketua MABMI Kota Medan.

Sabtu, 02 Januari 2010

Pedagang Kecil di Gusur, Pengusaha Enak Tidur

Drs SAFWAN KHAYAT MHum

Pedagang kecil di gusur, Pengusaha enak tidur
Pedagang kecil di pijak, Pengusaha banyak tak bayar pajak
Pedagang kecil dicampak, Pengusaha terus diajak
Biasanya setiap pagi, pak Regar masih sibuk menjajaki dagangannya di pasar. Di atas lapak meja ukuran 1 x 2 meter, beliau berdagang ikan segar yang dibelinya dari agen ikan yang datang langsung dari Belawan. Pedagang ikan itu bernama Renta Siregar, biasa orang-orang menyapanya dengan panggilan pak Regar. Aneka jenis ikan ditemukan di lapak meja dagangannya. Ada ikan gembung, ikan tongkol, ikan dencis, cumi dan jenis lainnya. Walau tak banyak, jenis ikan cukuplah terwakili seperti kebanyakan orang memakannya.
Hasilnya cukuplah buat modal besok, makan satu hari dan bayar uang tempat dan kebersihan kepada pihak tertentu. Jika pak Regar sakit, digantikan oleh istrinya boru Hasibuan. Sebab satu hari saja tak berjualan, hari itu juga pasti tak makan. Beban biaya yang harus ia tanggung cukup berat, yakni membiaya 3 orang anaknya. Satu orang putri pertama duduk di kelas 3 SMK, 1 orang putri kedua kelas 1 SMU dan putra terkecilnya masih duduk kelas 5 di bangku SD. Untunglah, mereka sudah punya rumah kecil sederhana yang dibeli 12 tahun yang lalu hasil jual ladang warisan dari orang tua istrinya boru Hasibuan di Tapanuli Selatan sana.
Sejak penertiban yang berakhir dengan pergurusan pedagang, pak Regar kini tak berjualan lagi. Sampai hari ini, sudah terhitung 8 hari ia tidak berjualan. Lapak mejanya hancur, lokasi dagangannya kini di jaga petugas satuan polisi pamong praja (Satpol PP). Beliau kehilangan mata pencaharian dan langganan tetapnya. Sedikit demi sedikit hutang mulai berjalan, karena tak ada uang buat makan. Ingin mencoba jualan, tak ada tempat yang bisa didapati. Mau sewa toko, bagaikan hidup berjalan menghayal ke bulan.
Pak Regar kian hari kian resah. Mohon perlindungan agar nasib mereka di beri jalan keluar. Tak ada kata pasti, sementara kebutuhan hidup nyata-nyata penuh kepastian. Ada uang ada makan, tak ada uang perut keroncongan.
Bersama kawan-kawan senasibnya, pak Regar mencoba berembuk mengajukan persoalan hidup mereka kepada pihak berwewenang. Mereka hanya menerima jawaban serba tidak pasti juga. Mereka terima kalau dagangannya memakai badan jalan. Mereka sadar hak orang lain menjadi terganggu sehingga menimbulkan bau tak sedap, lalu lintas macet dan mengganggu keindahan kota . Tapi keadaan memaksa dan mereka juga tidak gratis berjualan begitu saja. Keseharian mereka dikutip bayaran dengan alasan uang keamanan, uang tempat, uang kebersihan dan uang perlindungan atau entah apa sajalah, yang penting bayar. Tapi setelah digusur, semuanya hilang, tak ada perlawanan, tak ada pembelaan dan tak jelas untuk apa pembayaran itu.
Pak Regar kian merenungi nasib. Kalau kami salah, kenapa harus kami saja yang dikorbankan. Kenapa pedagang di pasar tertentu tak menerima nasib yang sama seperti kami, padahal mereka juga berjualan memakai badan jalan dan mengganggu hak orang lain. Mengapa pula kawasan jalan tertentu dengan sederetan mobil yang dipajangkan di beberapa show room luput dari penertiban. Padahal pengusaha itu justru lebih banyak merampas hak orang lain. Mengapa pula tidak ditertibkan kawasan perparkiran yang merambah separuh badan jalan sehingga merampas kebebasan jalan bagi orang lain. Mengapa juga tidak diberantas habis pengusaha kelas kakap yang mengambil trotoar untuk kepentingan dagangannya. Sungguh tak adil hidup ini, gumam batin pak Regar.
Kami setuju penertiban harus ada korban, tapi janganlah ada yang dikorbankan. Penegakkan hukum biasa ada pengorbanan, tetapi kalau dipilih dan dipilah dalam penegakkan hukum maka tindakan ini ada yang dikorbankan. Ataukah kami tidak punya setoran besar sehingga kami yang digusur ? keluh pak Regar lagi.
Berapa banyak papan plank reklame juga merampas hak pengguna jalan. Tak terhitung bangunan bermasalah yang tak menghargai pengguna jalan. Pedagang kecil di gusur, pengusaha enak tidur. Pedagang kecil dipijak, pengusaha banyak tak bayar pajak. Pedagang kecil dicampak, pengusaha terus diajak. Begitulah kata pak Regar dengan tatapan kosong mulai tersenyum kecil sendiri tanpa ada orang lain di depannya.
Tatapan kosong itu memecah ketika telinga mendengar panggilan rintih dari anaknya yang kecil. Pak, aku lapar, tanya anaknya. Pak Regar lalu menghampiri istrinya. Ada nasi kita mak ? tanya Regar. Sudah dua hari aku tak masak pak, jawab rintih istrinya. Jadi dua hari ini anak-anak makan apa ? tanya pak Regar lagi. Entah lah pak, aku tak bisa jawab, sahut istrinya.
Pak Regar bertanya pada anak-anaknya. Dua hari ini kalian makan apa nak ? Kami Cuma minum air putih saja pak, jawab putri pertamanya. Tak kuasa air mata pak Regar berderai. Dengan segala cara pak Regar mencari nafkah agar anaknya jangan sampai kelaparan. Kini pak Regar mengumpuli barang bekas (botot) demi memenuhi sesuap nasi,untuk kelangsungan hidup keluarganya sambil bergarap ada mukzizat yang menghapirinya.

*Penulis, Ketua PD MABMI Medan, Alumnus SMU Negeri 1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pasca Sarjana USU Medan, Email;safwankhayat@yahoo.com

Setitik Darah, Hanya Untuk Sepatu Sekolah

Oleh, :Drs.SAFWAN KHAYAT MHum


Tak jauh dari bibir sungai Deli, berdiri sebuah rumah berukuran 6 x 15m dengan ornament eksterior kombinasi kayu dan batu, dipagari kayu bambu yang mulai lapuk serta beberapa tanaman hias nyaris tak terurus oleh pemiliknya. Disitulah Timpal Tarigan seorang pengemudi angkutan kota (Angkot) tinggal bersama isterinya boru Nasution dan sepasang anak (laki-perempuan) belahan hati mereka. Tarigan di bulan ini genap berusia 55 tahun, sedangkan isterinya 8 bulan lagi genap berusia 41 tahun. Usia yang terpaut 14 tahun ini tak menjadi penghalang bagi mereka dalam membina rumah tangganya. Justru, dengan kedewasaan Tarigan, mampu membimbing istrinya untuk memahami keterbatasan dirinya. Tarigan agak terlambat menikah. Sepasang belahan hati baru berusia 12 tahun dan 9 tahun. bukan saja lambat menikah, tetapi beliau juga terlambat mendapat karunia anak dari Tuhan.
Kehidupan Tarigan berjalan normal saja. Ia bekerja dan tekun beribadah. Setiap pagi belum bekerja mengemudi Angkot, isterinya selalu menyiapkan sarapan pagi dan kebutuhan dirinya. Di mulai dari secangkir kopi, sepiring nasi, sebatang rokok dan handuk kecil yang terus berganti setiap hari. Semua dilakukan isterinya dengan penuh ikhlas, cinta dan rasa abdinya kepada suami. Walau ekonomi pas-pasan, tapi Tarigan seorang ayah yang bertanggungjawab.
Tutur bahasanya yang khas keras tak berarti hatinya keras. Justru di mata boru Nasution, Timpal Tarigan seorang pria yang menarik, jujur, bertanggungjawab dan sayang dengan keluarga. Kedua anaknya, kerap bermanja-manja pada saat Tarigan sudah pulang kerja. Rasa capek hilang, rasa kesal buyar manakala ia bersama anak-anaknya berkumpul bercanda. Padahal, setoran angkot sering kurang, tapi kebahagiaan bersama keluarga mengalahkan persoalannya di pekerjaan.
Di suatu malam tepat pukul 22.15 WIB, Tarigan bercerita kepada istrinya bahwa besok Angkotnya mau di sewa untuk membawa rombongan perpisahan anak sekolah SLTP Negeri. Menurut rencananya, rute perjalanan di mulai dari halaman sekolah menuju lokasi taman hiburan dan rekreasi di Brastagi Tanah Karo. Sewanya lumayan, bisa buat setoran 2 hari dan sisanya bisa beli sepatu sekolah anak.
Isteri mengaguk setuju, dan semoga suaminya mendapat rezeki bisa beli sepatu sekolah anaknya. Sebab, sudah 3 tahun anaknya tidak ganti sepatu, apalagi tapak sepatu sekolah anaknya sudah berkali-kali dijahit alias tambal sulam. Begitulah rencana Tarigan andaikan besok ia mendapat rezeki dari sewa Angkotnya.
Tepat pukul 6.00 WIB, Tarigan sudah siap berangkat kerja. Mesin Angkot sudah dipanasi, sarapan pun sudah dilahap habis, kopi secangkir sudah kering, rokok sebatang tinggal busanya saja. Artinya, aktifitas sebelum bekerja semuanya sudah ia jalani di pagi itu. Sebelum kerja, isterinya menciumi tangannya dan anak-anak di ciumi pipinya. Sikap seperti biasa dilakukan ketika hendak berangkat kerja.
Tarigan pun mengambil kunci kontak dan langsung menghidupkan mesin angkotnya. Isteri dan anak melepas beliau di depan pintu rumah yang berukuran kecil tadi. Sambil melepas bekerja, si anak melambai tangan kepada ayahnya dan Tarigan menyambut lambaian tangan belahan hatinya. Tarigan berkata; Ayah kerja dulu ya ? Ia Ayah, hati-hati ? jawab anaknya. Pagi itu berjalan normal saja. Tak ada hal-hal yang luar biasa, karena Tarigan dan keluarga hanyalah orang biasa-biasa saja.
Singkat cerita, Tarigan membawa rombongan pelajar SLTP Negeri itu ke Brastagi. Perjalanan penuh asyik, canda tawa dan akrab. Mereka tiba kembali ke kota Medan tepat pukul 18.45 WIB. Diperjalanan tidak ada hambatan yang berarti. Seluruh perjalan lancar nyaris tak ada gangguan atau kendala. Setelah tiba, seluruh pelajar turun dan perjanjian sewa Angkot-pun dilunasi.
Tarigan sangat senang, gembira dan tersenyum lebar. Ia memperoleh rezeki yang lumayan hari ini. Ia berniat besok tidak narik dulu, sebab ia sudah berjanji mau beli sepatu sekolah anaknya.
Tarigan pun pulang dan langsung tancap gas. Sambil menyetir mobil tak urung sambil bernyanyi sebuah lagu yang sedang popular. Tentu saja lagu itu tidak lain adalah lagu anak medan. Tak sadar, Tarigan menekan gas Angkot-nya dengan kecepatan tinggi. Malam itu hujan sedikit lebat, jalanan licin dan sunyi. Tarigan tak perdulikan itu karena larut dalam luapan kegembiraan. Ia ingin cepat sampai di rumah. Karena syahwat kegembiraannya, Tarigan hilang kontrol diri mengemudi Angkotnya. Lobang-lobang di jalanan ia lalui saja, lampu merah dipersimpangan ia terobos dan safety belt tak dipakai.
Ketika mendekati rumahnya, ada simpang tiga yang selama cukup rawan kecelakaan. Tanpa basa basi, Tarigan sosor saja Angkot-nya, dan akhirnya, prakk…!! drum..!! Bunyi suara benturan yang cukup keras hingga mengejutkan warga sekitar. Angkot itu berbenturan keras dengan sebuah mobil Kijang Inova G yang datang kecepatan tinggi juga. Tubuh tarigan terpental keluar dan kepalanya menghantam kaca depan. Tubuhnya remuk redam, tulang lunglai dan darah mengalir deras.
Warga segera menolong Tarigan yang mulai kehilangan banyak darah dilarikan ke rumah sakit. Isteri dan anaknya betapa kaget dan shock mendengar musibah ini. Mereka langsung menuju rumah sakit menjenguk Tarigan sedang berjuang dengan maut. Untuk menyelamatkan jiwanya, trasfusi darah harus segera dilakukan. Persediaan darah di rumah sakit sangat terbatas. Stock yang ada juga tak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk Tarigan.
Darah isterinya tak sesuai dengan Tarigan. Berbagai upaya isterinya mencari donor bantuan, tapi usaha itu sia-sia. Sebab masih sedikit para pendonoh darah yang ikhlas memberikan darahnya. Tarigan butuh sangat butuh darah, sebab hanya itulah jalan yang bisa menyelamatkannya.
Salah seorang anaknya berusia 9 tahun memiliki golongan darah yang sama dengan Tarigan. Tapi anak itu masih terlalu kecil dan belum pantas untuk mendonor. Si anak terus menangis dan pasrah. Bathinnya terus berdoa semoga ayahnya selamat dari maut. Ia masih belum sanggup kehilangan ayahnya.
Tak disadari si anak berkata pada ayahnya dengan polos dan lugu. Ayah, ambillah darah ku ini untuk ayah. Aku siap mati memberikan darah ku demi sebuah sepatu sekolah. Andaikan ayah mati kehabisan darah, semua ini ayah lakukan demi sepatu sekolah, maka aku pun ikhlas menggantikan dengan darah ku demi kau bisa beli sepatu sekolah.
Tarigan hanya bisa mendengar sayup-sayup suara anaknya, karena seluruh tubuhnya tak berdaya. Akhirnya Tarigan menghembuskan nafas terakhir. Ia kehilangan banyak darah demi sepatu sekolah.
Menangislah isteri dan anak-anaknya ditinggal pergi selamanya oleh seorang ayah yang berjuang sampai darah terakhir demi sepatu sekolah. Andaikan ada stock darah, mungkin Tarigan bisa diselamatkan. Lalu si ibu berkata kepada anaknya; Nak, Jika kalian sudah dewasa, donorkan darah kalian untuk kemanusiaan. Sebab, setitik darah menjadi perjuangan demi sepatu sekolah bagi yang lain.

*PENULIS, Alumnus SMA Negeri-1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pascasarja USU Medan. Website; http;//Selalukuingat.blogspot.com. Email; safwankhayat@yahoo.com

Kamis, 27 Agustus 2009

Polisi Dan Guru ; Berpisah Setelah Ban Bocor

Oleh
Drs SAFWAN KHAYAT MHum


Rosmalina seorang guru honor yang sudah mengajar ± 22 tahun di sekolah dasar (SD) negeri yang letaknya tak jauh dari daerah aliran sungai Deli kota Medan . Ibu yang bertubuh subur ini akrab disapa oleh guru-guru dan muridnya dengan panggilan Ibu Ros. Minggu depan usianya genap 59 tahun, sungguh usia yang cukup matang menjadi seorang tenaga pendidik. Sepatutnya, Ibu Ros sudah harus pensiun, tapi karena luas ilmunya dan cara pengajarannya yang disiplin lagi baik, jasanya masih dibutuhkan untuk mendidik anak-anak. Ibu Ros pun menikmati profesinya sebagai guru, malahan Ibu Ros lebih suka mengajar daripada duduk santai di rumah.

Di usia pengalamannya mengajar, ribuan siswa sudah banyak yang tamat dan mungkin juga sudah berhasil menduduki sejumlah jabatan penting. Ibu Ros sudah tentu tak hafal lagi wajah lugu murid-muridnya itu. Bisa jadi pula muridnya itu sudah berkeluarga dan anak-anak mereka disekolahkan di tempat Ibu Ros mengajar. Artinya, orang tua dan anak, kesemuanya murid Ibu Ros.

Ibu Ros mengajar bidang studi biologi. Dahulunya, Ibu Ros mengajar selalu naik angkutan umum (Angkot), tapi hampir 2 tahun ini Ibu Ros sudah naik sepeda motor scooter matic buatan produk Jepang. Sepeda motor ini Ibu Ros beli dengan cara kredit yang dibayar melalui pemotongan setengah dari gaji honornya. Ibu Ros hitung-hitung, ongkos angkot cukuplah membayar angsuran sepeda motornya. Belum lagi waktu dan rezeki lain dikejar jauh lebih menguntungkan, sebab Ibu Ros juga mendapat rezeki dari honor less tambahan di sekolah lain.

Pada Rabu pagi, Ibu Ros masuk lebih cepat daripada hari lainnya. Jam mengajarnya pagi itu pukul 07.30 WIB. Jarak rumah dengan sekolah ditempuh selama 40 menit, maka Ibu Ros wajib berangkat dari rumah kisaran pukul 06.20 WIB. Jika tiba di sekolah, Ibu Ros masih punya waktu sekitar 10 menit istirahat sejenak sambil menyiapkan bahan pelajaran yang akan disampaikan. Mengendarai scooter matic-nya, Ibu Ros jalan dengan kecepatan 35 KM/jam. Maklum saja, tubuhnya yang subur tak cukup lincah untuk melaju kecepatan kenderaannya. Belum lagi usianya dan kesehatan fisiknya, rasanya tak mendukung bagi Ibu Ros memacu kenderaannya itu.

Diperjalanan, ada yang lain perasaan Ibu Ros mengemudi sepeda motornya. Ibu Ros merasakan laju sepeda motornya betul-betul lambat. Mungkin scooter ini sudah masanya di service, duganya. Oh ya !! Sudah 2 bulan scooter ini tak di service, apalagi ganti Oli, gumamnya. Tapi, kali ini sangat tidak enak membawa scooter-nya. Ibu Ros bagaikan naik sepeda motor di atas sampan yang sedang diterjang ombak. Goyang kanan, goyang kiri dan hampir jatuh. Ibu Ros coba berhentikan scooter-nya ke bibir jalan, lalu ia perhatikan secara seksama scooter itu.

Uaallah..!! ban-nya boccoorr..!! oceh Ibu Ros dengan gaya bahasa khasnya. Sial banget pagi ini, ocehnya lagi.

Sambil mendorong scooter, mata Ibu Ros jelalatan lihat kesana, kemari, kekanan dan kekiri. Tapi dasar sial, yang dituju si penambal ban tak kunjung kelihatan. Ibu Ros melirik jam tangannya sudah pukul 07.15 WIB, berarti ia punya waktu 15 menit lagi.

Tubuh suburnya dibasahi keringat mengkujur deras. Wajah yang dilapisi bedak dan sedikit lipstrik mulai tak karuan. Nafasnya tersengal-sengal dan Ibu Ros kebingungan. Kasihan sekali guru yang malang ini.

Ibu Ros mengambil keputusan untuk duduk saja di bibir trotoar. Tubuhnya tak mungkin lagi mendorong scooter itu. Ibu Ros duduk lemas sambil berdoa, Oh Gusti Allah, berilah hamba Mu ini pertolongan.

Pagi Ibu ? Ada yang bisa saya bantu, sapa seseorang yang sengaja menghampirinya. Dalam kondisi lemas dan setengah sadar, Ibu Ros menoleh si penyapa yang ia tidak tahu dari mana datangnya. Fikirannya masih bingung, kacau dan sedikit pusing. Ibu Ros mengangkat kepalanya dan terkejut sedikit shock.

Ya ampun mati aku, serem banget muka orang ini, gumamnya. Ibu Ros dihampiri seseorang bertubuh besar, perut gendut, kulit hitam dan kumis tebal.

Ada yang bisa saya bantu ibu ? sapa orang itu. Ibu Ros meraih minuman di botol tupper ware-nya, ia teguk sedikit dan kondisi perlahan-lahan pulih. Oh rupanya, pak Polisi, bisik hatinya.

Ban sepeda motor saya bocor pak, saya udah capek mendorongnya, tapi tidak ketemu penambal ban, jawab Ibu Ros dengan lugu. Ibu mau kemana ? sapa Polisi itu. Saya mau mengajar, di sekolah SD negeri yang letaknya di sekitar daerah aliran sungai Deli, jawab Ibu Ros.

Polisi itu menawarkan jasa agar sepeda motor Ibu Ros dititipkan di Pos Polisi itu. Ibu Ros setuju, selepas mengajar ia ambil lagi sepeda motornya. Ibu Ros akhirnya pergi mengajar naik taksi dan tiba pukul 07.40 WIB. Ia terlambat 10 menit dari jam mengajarnya.

Sekitar 20 menit mengajar di kelas, kepala sekolah masuk ke dalam kelas Ibu Ros. Kepala Sekolah mohon izin waktu kepada Ibu Ros akan menyampaikan pengumuman duka cita dari seorang wali murid di kelasnya. Ibu Ros mempersilahkan dan langsung seluruh penghuni kelas itu terkejut bahwa orang tua salah satu murid di kelas Ibu Ros meninggal dunia 15 menit yang lalu.

Tentu saja murid menangis terisak-isak dan spontan menjerit histeris. Lalu pihak sekolah mengambil keputusan agar seluruh proses belajar mengajar dihentikan dan berangkat ke rumah duka.

Setiba di rumah duka, ratusan orang sudah penuh melayat. Ibu Ros juga ikut melayat bersama guru dan murid lainnya. Pihak sekolah menyampaikan rasa belasungkawa yang mendalam atas wafatnya salah seorang wali murid di sekolah mereka. Yang menyampaikan ucapan itu hanya kepala sekolah dan wakil kepala sekolah saja. Sementara guru-guru lainnya termasuk Ibu Ros hanya melayat di luar rumah duka.

Setelah 20 menit di rumah duka, mereka kembali ke sekolah dan dinyatakan boleh pulang ke rumah masing-masing. Ibu Ros memutuskan untuk pulang tapi ia harus mengambil sepeda motornya ke pos Polisi tadi. Kali ini ia tidak naik taksi, tapi diantarkan rekan mengajarnya dengan sepeda motor juga. Tiba di pos Polisi itu, ia lihat sepeda motornya masih utuh parkir di depan pos jaga itu.

Rekan gurunya tadi pun pulang ke rumah, Ibu Ros ucapkan terimakasih. Polisi yang di pos itu sudah berganti orang. Petugas ini tubuhnya agak ramping dan tidak berkumis.

Ini kunci sepeda motornya, coba periksa apakah ada yang kurang, sambut Polisi itu. Ibu Ros pastikan sedikit pun tak ada yang ganjil, tapi ban sepeda motornya sudah tidak bocor lagi. Terimakasih pak, ban sepeda motor saya sudah ditambalin, sapa Ibu Ros dengan rasa gembira. Ya udah Ibu, hati-hati di jalan, sambut Polisi itu.

Oh ya pak, bapak tadi pagi kemana ya ? tanya beliau. Kenapa Ibu, masih ada yang kurang ? tanpa Polisi itu balik. Bukan pak, saya mau ucapkan terimakasih sama beliau, ucap Ibu Ros. Sudahlah Ibu, bapak itu tidak usah dikenang lagi, mungkin sudah takdirnya, jawab Polisi itu. Lho!! Koq begitu, ada apa rupanya, Tanya Ibu Ros heran. Bapak itu sudah meninggal dunia 2 jam yang lalu, karena di tabrak angkot ketika bertugas mengatur lalu lintas, terang Polisi itu. Apa pak ? Meninggal dunia ? heran Ibu Ros.

Polisi itu menceritakan kronologis kejadiannya. Almarhum meminta dirinya untuk menjaga sebentar pos jaga ini. Katanya mau menempel ban sepeda motor ibu, agar Ibu pulang tidak susah lagi mendorong. Setibanya di tukang tambal ban, almarhum mengatur lalu lintas di sekitar lokasi itu. Sambil menunggu ban sepeda motor di tambal, almarhum mengatur lalu lintas yang kondisinya mulai tak menentu. Tapi dasar nasib, almarhum diserodok mobil angkot yang menyalip tanpa melihat situasi arah lalu lintas. Almarhum terhempas dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Karena terlalu banyak darah yang keluar, almarhum meninggal dunia.

Tapi almarhum sempat menelpon saya dengan pesawat selulernya, agar sepeda motor Ibu dibawa ke pos. Katanya, Ibu adalah gurunya dulu yang sering ia lecehkan. Tapi karena jasa Ibu ia sudah jadi Polisi. Sekarang anaknya pun jadi murid Ibu. Pesannya, masih belum ada arti jasa menambal ban dengan jasa mengajar Ibu sendiri. Almarhum tak sempat membawanya karena arus lalu lintas harus segera di atasinya. Makanya sepeda motor ibu, saya sendiri langsung yang bawa kemari. Saya sendiri tak sempat melihat jenazah beliau.

Ibu Ros langsung terduduk lemas, air matanya mengalir deras dan jantungnya berdetak cemas. Polisi yang wajahnya menakutkan itu ternyata hatinya sangat baik. Ia wafat di atas kemuliaan dan tugas negara. Ibu Ros tak sempat mengucapkan terimakasih. Dan rumah duka tadi ketika ia melayat ternyata polisi itu orang tua dari muridnya.

Oh Gusti Allah !! Sungguh malunya aku. Ia wafat karena sepeda motor ku. Kami berpisah setelah ban sepeda motor ini bocor Aku sendiri tak sempat menemuinya. Tapi ia langsung menemui Mu. Oh Gusti Allah !!! Ia balas jasa aku mengajar dengan sebuah tambalan ban, doa Ibu Ros sambil terisak-isak.



*Penulis* Alumnus SMA Negeri 1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pascasarjana USU Medan. Website; http://safwankhayat.blogspot.com/. Email; safwankhayat@yahoo.com

Terror Aksi Bom Pertanggungjawaban di Ujung Perilaku

Oleh,
Drs SAFWAN KHAYAT MHum


Sesungguhnya manusia diciptakan selalu bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kesenangan ia juga keluh kesah lagi amat kikir. Kecuali orang yang selalu menundukkan diri dengan kerendahan dihadapan Tuhannya. (QS. Al Ma’arij 19 – 22)


Ilusi, obsesi dan ambisi pasti ada dalam setiap diri manusia. Cita-cita, pesimisme dan optimisme selalu naik turun di setiap tarikan nafas jiwa. Terkadang berhasil, tapi tak jarang menemukan kegagalan. Ada yang ditimpa kesusahan, tak sedikit pula merasakan kesenangan. Ada pula yang merasakan limpahan harta, jabatan dan kemuliaan, cukup banyak pula umat manusia yang merasakan kekurangan, penderitaan dan hinaan.
Banyak pula yang tertawa, tapi dibalik itu tak kurang sedikit yang menangis durja. Kegembiraan menyambut kemenangan, kesedihan membungkus kekalahan. Senyuman menghias wajah keramahan, beringas membentuk watak kemarahan. Pujian atas sikap kesabaran, hukuman setimpal jatuh bagi kesadisan. Hidup mesti dipertangggung jawabkan, mati media awal dimulainya pertanggungjawaban. Iman hari penghisaban, ingkar pasti mendapat setimpal balasan. Begitulah hidup manusia dengan ragam persoalan silih berganti.
Manusia diberi kesusahan, ia berkeluh kesah. Naifnya, tatkala ia diberi kesenangan, juga keluh kesah dan cendrung kikir. Gambaran ini persis dinyatakan Tuhan dalam firman-Nya seperti awal di atas tulisan ini. Luapan kegembiraan nyata terlihat bila sekelompok manusia merasakan sesuatu hal meraih kesempatan, keberhasilan atau kemenangan. Refleksi kekecewaan tak jarang terungkap dengan aksi tindakan yang merusak diri dan orang lain.
Gambaran silang kehidupan manusia bukanlah sepenuhnya takdir, tapi terkadang perilaku itu tak jarang pula dipolitisir. Sikap keluh-kesah merupakan sikap egoistis manusia yang lebih peka mementingkan diri sendiri. Kesabaran bisa berdampak pada diri dan sekitarnya, kemarahan juga membawa efek negatif bagi diri dan sekitarnya pula. Kepuasan dinilai wajar bila prestasi berhasil digapai, ketidakpuasan sering terungkap dengan perilaku yang arogan, brutal, sadis dan anarkis yang berbau ketidak prikemanusiaan.
Dalam berbagai realitas sosial, ungkapan ketidakpuasan acapkali tampil dengan adegan berlawanan (antagonis). Tidak saja dalam bentuk merusak, tapi dapat berlanjut pada upaya terencana untuk membunuh. Naifnya, ketidakpuasan yang berbuntut kemarahan kerap pula merugikan orang lain yang sama sekali tidak mengerti, tidak bersalah atau tidak ada kaitannya dengan rasa ketidakpuasan itu. Berbagai cara dilakukan demi memenuhi hasrat kebusukan dari rasa ketidakpuasan tadi.
Misalnya saja aksi terror yang berujung dengan munculnya peristiwa bom yang terjadi pada beberapa kejadian di negara belahan dunia khususnya Indonesia . Aksi terror ini adalah ungkap ketidakpuasan yang diluapkan dengan tindakan busuk, tidak berkemanusiaan, egoistik dan tidak berjiwa besar. Aksi terror dengan merusak dan menghilangkan nyawa orang adalah refleksi cermin seperti yang disampaikan Tuhan dalam firman-Nya di awal tulisan ini. Sikap keluh-kesah lagi kikir merupakan tampilan nyata bagi orang-orang yang jauh dari nilai kemanusiaan dan keberTuhanan.
Sebagai warga yang tinggal dalam sebuah negara, perilaku menyimpang pasti mendapat hukuman setimpal. Tetapi sadarlah, sebagai umat manusia yang tinggal di bumi ini, Tuhan tak pernah luput merekam segala perbuatan yang melawan hukum ketentuan-Nya. Bisa jadi harta, jaringan dan jabatan dapat menyelamatkan seseorang lepas dari jeratan hukum negara (dunia). Tetapi jeratan hukum Tuhan tak mengenal kompromi terhadap harta, jaringan dan jabatan.
Keuangan, kekuatan dan kekuasaan tak berlangsung lama sepanjang semua itu masih bertahan dalam lingkaran kemampuan di dunia. Manakala kisah kehidupan manusia harus berakhir di ujung kematian, maka kisah itu diperhitungkan menurut kadar baik-buruknya. Perilaku terror dengan pengeboman pasti berujung pada bentuk pertanggungjawaban secara dunia dan akhirat. Bisa jadi pelaku jaringan aksi terror berpesta foya dengan peristiwa ini, tetapi ribuan orang berakhir hidupnya dengan menggenaskan. Jutaan manusia hidup dalam ketakutan karena ancaman terror berakhir entah sampai kapan.
Agama mengajarkan merusak, menganiaya dan membunuh adalah perbuatan zalim di mata Tuhan. Tak ada ajaran apapun yang membenarkan perbuatan sadis dan anarkis. Mari kita pahami bahwa hidup di bumi Tuhan ini bukan kita sendiri. Ada orang lain yang kita sayangi dan cintai. Ada keluarga kita, saudara, dan jutaan karib kerabat. Bisa jadi pula mereka menjadi korban atau ancaman mendatang dari perilaku terror itu sendiri. Jangan pernah berfikir bahwa perbuatan terror adalah awal kemenangan. Bukan, sekali bukan sebab cara itu perbuatan yang salah. Tetapi ingatlah, terro aksi bom akan dipertanggungjawabkan di ujung perilaku. Baik di mata manusia (dunia), maupun di mata Tuhan (akhirat). Semoga kita terlindung dari kemurkaan Tuhan. Naudzu billahi min dzalik…!!

*Penulis*, Alumnus SMA Negeri 1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pasca Sarjana USU Medan. Website: http://safwankhayat.blogspot.com. Email: safwankhayat@yahoo.com.

Duka Mangkubumi

Duka Mangkubumi dan Perubahan Kaum

Di malam yang hening dan sunyi dengan nyilur angin berhembus menusuk sum-sum nan dingin terbesit renyuhnya hati merasakan larutan duka saudara kita pada tragedi Mangkubumi. Di malam itu selepas menghambakan diri kepada sang Khaliq Tuhan Yang Maha Agung, aliran darah yang setitik, rambut yang sehelai menyatu dalam detak jantung dan fikiran tentang nasib masa depan mereka. Tragedi itu berakhir dengan kesedihan, kepedihan dan kepasrahan yang bermuara dengan sebutan Duka Mangkubumi.

Duka Mangkubumi menjadi duka kemanusiaan yang dirampas kejamnya si Jago Merah melahap dengan laparnya dengan membakar harta, cerita, cinta, angan dan masa depan. Gumpalan api yang lapar hanya menyisakan bangkai bangunan dan puing-puing kedukaan yang telah meluluhlantakkan area kawasan. Merahnya api seketika menghitamkan kawasan itu tanpa memperdulikan tatapan sedih dan ratapan pedih.

Tragedi ini adalah Duka Mangkubumi yang harus kita sambut dengan sikap kemanusiaan melalui uluran tangan yang ikhlas guna menjemput perhatian, semangat dan kesetiakawanan. Ratusan bahkan miliaran harta benda hilang, tetapi triliunan cita, harapan dan masa depan ikut terbakar. Masa depan suram, pendidikan anak terancam dan kegundahan mulai mencekam.

Di atas pusaran sajadah ke dua tangan ikut bertengadah dengan munajat doa agar dapat menyelimuti tidur mereka di malam itu. Cucuran air mata ikut meramaikan munajat doa kepada Tuhan Yang Maha Penyayang atas hamba-hamba-Nya. Ternyata, munajat doa tidak cukup menyelimuti nyenyaknya tidur mereka, sebab masih ada desakan lain yang harus dilakukan guna menghapus Duka Mangkubumi. Lalu kedua tangan ini meraih sebatang pena yang bergulir begitu cepat menetaskan goresan gagasan agar kita harus berubah.

Putaran jarum jam berpacu dengan cepatnya goresan pena sambil melemparkan secercah pertanyaan tentang tragedi itu. Apakah Duka Mangkubumi terbakar karena ditentukan manusia atau ketentuan Tuhan ? Bagaimana nasib mereka dan anak-anaknya? Apakah Duka Mangkubumi harus berakhir dengan seperti ini? Ataukah masih menyusul duka-duka berikutnya ?

Duka Mangkubumi adalah fenomena nyata bahwa kawasan padat peduduk ini menjadi sorotan bagi siapa saja. Daftar pertanyaan di atas hanya sebatas tajamnya pena mengejar fenomena itu tanpa bermaksud menimbulkan prasangka. Tetapi kita harus berfikir jernih bahwa setiap kesempitan pasti ada kelapangan, setiap kesulitan selalu ada jalan kemudahan, dan di antara itu pula segala sesuatu urusan hanya kembali kepada Tuhan Pencipta Alam.

Amal kebajikan harus kita rajut dalam ikatan persaudaraan dengan membangun jembatan hati di atas pilar kesetiakawanan. Jembatan hati menjadi lintasan kehidupan dalam melangkah dengan sebuah keniscayaan bahwa segala sesuatu hanyalah pinjaman yang dititipkan Tuhan kepada umat manusia. Duka Mangkubumi menjadi bagian dari proses sirkulasi kehidupan yang dinyatakan dalam ketentuan Iradat Tuhan bahwa segala sesuatu pasti kembali kepada-Nya. Sesuatu itu adalah apa saja yang kita miliki, rasakan dan nyatakan akan dituntut pertanggungjawaban dalam sebuah sidang akbar kemanusiaan pada akhirnya nanti. Perbuatan baik dan buruk akan di balas menurut kadarnya, begitu pula kezhaliman pasti dijawab Tuhan dengan kemurkaan. Na udzubillahi min dzalik!!

“Bagi orang yang melakukan suatu perbuatan baik, maka Tuhan membalas dengan yang baik, bagi mereka melakukan perbuatan buruk sekalipun mereka memiliki harta dan kekuasaan, maka mereka pasti menebus dirinya. Orang seperti ini Tuhan siapkan perhitungan yang buruk dan tempat kediaman mereka neraka Jahanam. Seburuk-buruk tempat adalah neraka Jahanam. (QS. Ar Radu; 18).

Perubahan Suatu Kaum

Kita perlu perubahan ke arah yang lebih baik guna mengurangi sifat ego diri yang terkadang membuat kita gagal dalam hidup. Perubahan itu yakni perubahan atas pola tindak, landasan berfikir, teknik pengambilan keputusan dan pola kepemimpinan. Perubahan itu harus syarat dengan sisi kemanusiaan sebagai wujud perilaku hukum berkeTuhanan dengan menjaga kemaslahatan alam. Jika kita gunakan Firman Tuhan dalam kitab suci yang Agung, perubahan itu sendiri sangat bergantung diri manusia.

“Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang melakukan perubahan. Apabila Tuhan menghendaki situasi buruk (kacau) kepada kaum itu, maka tidak ada yang dapat menolaknya, tidak ada yang bisa berlindung dari Dia”.(QS Ar Radu; 11)

“Sesungguhnya Allah tidak merubah suatu nikmat yang telah dianugrahkanNya kepada suatu kaum, tetapi kaum itu yang merubah nikmat yang ada pada dirinya sendiri”. (QS Al Anfal 53)

Perubahan suatu proses meninggalkan atau melepaskan suatu keadaan menuju target-target kehidupan/perjuangan. Target kehidupan itu lebih menitikberatkan pada suatu ruang kehidupan yang lebih akomodatif, adaptif dan produktif. Namun tetap saja dalam prosesnya, perubahan tidak bisa lepas dari pengorbanan dan dikorbankan.

Duka Mangkubumi memberi inspirasi atas rangkaian peristiwa yang ada bahwa nafas perubahan selalu menyita waktu untuk mengkaji haruskah ada pengrbanan atau dikorbankan. Duka kemanusiaan itu adalah sample dari nafas perubahan yang berujung pada ruang kenyataan tatkala tujuan, harapan dan kenyataan bersinggungan. Apakah Duka Mangkubumi menjadi awal dari perubahan kaum yang ditentukan manusia atau ketentuan Tuhan ?

Dasar dari perubahan adalah nilai kesadaran yang bersikukuh melepaskan pola lama menuju arah yang positif. Kesadaran ini begitu perlu sebab menjadi pilar diri menjemput perubahan. Kesadaran melahirkan perilaku positif paling ampuh menggagalkan perbuatan sia-sia. Agama juga mengajarkan kita bahwa tanpa kesadaran maka perbuatan merugi lagi sia-sia bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan agama.

Duka Mangkubumi merupakan tragedi yang berujung dengan luka kepedihan. Luka kepedihan yang larut dapat menghambat perubahan kaum. Caranya kita harus mengobati dengan membalut motivasi, sabar, ikhlas dan nilai taqwa bahwa cobaan ini juga bagian dari gerakan perubahan kaum. Cukupkah itu, tentu tidak !! Kebijakan juga mempercepat perubahan dengan landasan kemanusiaan pula. Rehabilitasi, renovasi dan rekondisi lokasi kejadian harus syarat pula dengan nilai kemanusiaan yang tidak bisa ditawar. Jika tidak, Duka Mangkubumi pasti terus tanpa memperhatikan tujuan perubahan yang diharapkan mereka.

Mari kita ganti duka dengan suka, luka dengan bahagia, durja dengan candatawa. Mangkubumi harus kembali tersenyum melalui nafas perubahan dengan meninggalkan masa tekanan dengan masa pengembangan. Perubahan yang beradab menjadi cita-cita, sebab perubahanlah yang mampu menjemput kehidupan yang lebih beradab pula. Tetapi yang terpenting, perubahan kaum yang berkemanusiaan tidak akan bisa berdiri tegak tanpa dilandasi sikap berkeTuhanan. Wallahu a’lam bi shawab..!!

P. Siantar, 24 Nov 2008

Drs. Safwan Khayat M. Hum
Penulis, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pascasarja USU Email; safwankhayat@yahoo.com dan http://safwankhayat.blogspot.com

Setitik Darah, Hanya Untuk Sepatu Sekolah

Oleh, :Drs.SAFWAN KHAYAT MHum


Tak jauh dari bibir sungai Deli, berdiri sebuah rumah berukuran 6 x 15m dengan ornament eksterior kombinasi kayu dan batu, dipagari kayu bambu yang mulai lapuk serta beberapa tanaman hias nyaris tak terurus oleh pemiliknya. Disitulah Timpal Tarigan seorang pengemudi angkutan kota (Angkot) tinggal bersama isterinya boru Nasution dan sepasang anak (laki-perempuan) belahan hati mereka. Tarigan di bulan ini genap berusia 55 tahun, sedangkan isterinya 8 bulan lagi genap berusia 41 tahun. Usia yang terpaut 14 tahun ini tak menjadi penghalang bagi mereka dalam membina rumah tangganya. Justru, dengan kedewasaan Tarigan, mampu membimbing istrinya untuk memahami keterbatasan dirinya. Tarigan agak terlambat menikah. Sepasang belahan hati baru berusia 12 tahun dan 9 tahun. bukan saja lambat menikah, tetapi beliau juga terlambat mendapat karunia anak dari Tuhan.
Kehidupan Tarigan berjalan normal saja. Ia bekerja dan tekun beribadah. Setiap pagi belum bekerja mengemudi Angkot, isterinya selalu menyiapkan sarapan pagi dan kebutuhan dirinya. Di mulai dari secangkir kopi, sepiring nasi, sebatang rokok dan handuk kecil yang terus berganti setiap hari. Semua dilakukan isterinya dengan penuh ikhlas, cinta dan rasa abdinya kepada suami. Walau ekonomi pas-pasan, tapi Tarigan seorang ayah yang bertanggungjawab.
Tutur bahasanya yang khas keras tak berarti hatinya keras. Justru di mata boru Nasution, Timpal Tarigan seorang pria yang menarik, jujur, bertanggungjawab dan sayang dengan keluarga. Kedua anaknya, kerap bermanja-manja pada saat Tarigan sudah pulang kerja. Rasa capek hilang, rasa kesal buyar manakala ia bersama anak-anaknya berkumpul bercanda. Padahal, setoran angkot sering kurang, tapi kebahagiaan bersama keluarga mengalahkan persoalannya di pekerjaan.
Di suatu malam tepat pukul 22.15 WIB, Tarigan bercerita kepada istrinya bahwa besok Angkotnya mau di sewa untuk membawa rombongan perpisahan anak sekolah SLTP Negeri. Menurut rencananya, rute perjalanan di mulai dari halaman sekolah menuju lokasi taman hiburan dan rekreasi di Brastagi Tanah Karo. Sewanya lumayan, bisa buat setoran 2 hari dan sisanya bisa beli sepatu sekolah anak.
Isteri mengaguk setuju, dan semoga suaminya mendapat rezeki bisa beli sepatu sekolah anaknya. Sebab, sudah 3 tahun anaknya tidak ganti sepatu, apalagi tapak sepatu sekolah anaknya sudah berkali-kali dijahit alias tambal sulam. Begitulah rencana Tarigan andaikan besok ia mendapat rezeki dari sewa Angkotnya.
Tepat pukul 6.00 WIB, Tarigan sudah siap berangkat kerja. Mesin Angkot sudah dipanasi, sarapan pun sudah dilahap habis, kopi secangkir sudah kering, rokok sebatang tinggal busanya saja. Artinya, aktifitas sebelum bekerja semuanya sudah ia jalani di pagi itu. Sebelum kerja, isterinya menciumi tangannya dan anak-anak di ciumi pipinya. Sikap seperti biasa dilakukan ketika hendak berangkat kerja.
Tarigan pun mengambil kunci kontak dan langsung menghidupkan mesin angkotnya. Isteri dan anak melepas beliau di depan pintu rumah yang berukuran kecil tadi. Sambil melepas bekerja, si anak melambai tangan kepada ayahnya dan Tarigan menyambut lambaian tangan belahan hatinya. Tarigan berkata; Ayah kerja dulu ya ? Ia Ayah, hati-hati ? jawab anaknya. Pagi itu berjalan normal saja. Tak ada hal-hal yang luar biasa, karena Tarigan dan keluarga hanyalah orang biasa-biasa saja.
Singkat cerita, Tarigan membawa rombongan pelajar SLTP Negeri itu ke Brastagi. Perjalanan penuh asyik, canda tawa dan akrab. Mereka tiba kembali ke kota Medan tepat pukul 18.45 WIB. Diperjalanan tidak ada hambatan yang berarti. Seluruh perjalan lancar nyaris tak ada gangguan atau kendala. Setelah tiba, seluruh pelajar turun dan perjanjian sewa Angkot-pun dilunasi.
Tarigan sangat senang, gembira dan tersenyum lebar. Ia memperoleh rezeki yang lumayan hari ini. Ia berniat besok tidak narik dulu, sebab ia sudah berjanji mau beli sepatu sekolah anaknya.
Tarigan pun pulang dan langsung tancap gas. Sambil menyetir mobil tak urung sambil bernyanyi sebuah lagu yang sedang popular. Tentu saja lagu itu tidak lain adalah lagu anak medan. Tak sadar, Tarigan menekan gas Angkot-nya dengan kecepatan tinggi. Malam itu hujan sedikit lebat, jalanan licin dan sunyi. Tarigan tak perdulikan itu karena larut dalam luapan kegembiraan. Ia ingin cepat sampai di rumah. Karena syahwat kegembiraannya, Tarigan hilang kontrol diri mengemudi Angkotnya. Lobang-lobang di jalanan ia lalui saja, lampu merah dipersimpangan ia terobos dan safety belt tak dipakai.
Ketika mendekati rumahnya, ada simpang tiga yang selama cukup rawan kecelakaan. Tanpa basa basi, Tarigan sosor saja Angkot-nya, dan akhirnya, prakk…!! drum..!! Bunyi suara benturan yang cukup keras hingga mengejutkan warga sekitar. Angkot itu berbenturan keras dengan sebuah mobil Kijang Inova G yang datang kecepatan tinggi juga. Tubuh tarigan terpental keluar dan kepalanya menghantam kaca depan. Tubuhnya remuk redam, tulang lunglai dan darah mengalir deras.
Warga segera menolong Tarigan yang mulai kehilangan banyak darah dilarikan ke rumah sakit. Isteri dan anaknya betapa kaget dan shock mendengar musibah ini. Mereka langsung menuju rumah sakit menjenguk Tarigan sedang berjuang dengan maut. Untuk menyelamatkan jiwanya, trasfusi darah harus segera dilakukan. Persediaan darah di rumah sakit sangat terbatas. Stock yang ada juga tak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk Tarigan.
Darah isterinya tak sesuai dengan Tarigan. Berbagai upaya isterinya mencari donor bantuan, tapi usaha itu sia-sia. Sebab masih sedikit para pendonoh darah yang ikhlas memberikan darahnya. Tarigan butuh sangat butuh darah, sebab hanya itulah jalan yang bisa menyelamatkannya.
Salah seorang anaknya berusia 9 tahun memiliki golongan darah yang sama dengan Tarigan. Tapi anak itu masih terlalu kecil dan belum pantas untuk mendonor. Si anak terus menangis dan pasrah. Bathinnya terus berdoa semoga ayahnya selamat dari maut. Ia masih belum sanggup kehilangan ayahnya.
Tak disadari si anak berkata pada ayahnya dengan polos dan lugu. Ayah, ambillah darah ku ini untuk ayah. Aku siap mati memberikan darah ku demi sebuah sepatu sekolah. Andaikan ayah mati kehabisan darah, semua ini ayah lakukan demi sepatu sekolah, maka aku pun ikhlas menggantikan dengan darah ku demi kau bisa beli sepatu sekolah.
Tarigan hanya bisa mendengar sayup-sayup suara anaknya, karena seluruh tubuhnya tak berdaya. Akhirnya Tarigan menghembuskan nafas terakhir. Ia kehilangan banyak darah demi sepatu sekolah.
Menangislah isteri dan anak-anaknya ditinggal pergi selamanya oleh seorang ayah yang berjuang sampai darah terakhir demi sepatu sekolah. Andaikan ada stock darah, mungkin Tarigan bisa diselamatkan. Lalu si ibu berkata kepada anaknya; Nak, Jika kalian sudah dewasa, donorkan darah kalian untuk kemanusiaan. Sebab, setitik darah menjadi perjuangan demi sepatu sekolah bagi yang lain.

*PENULIS, Alumnus SMA Negeri-1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pascasarja USU Medan. Website; http;//Selalukuingat.blogspot.com. Email; safwankhayat@yahoo.com