Kamis, 27 Agustus 2009

Polisi Dan Guru ; Berpisah Setelah Ban Bocor

Oleh
Drs SAFWAN KHAYAT MHum


Rosmalina seorang guru honor yang sudah mengajar ± 22 tahun di sekolah dasar (SD) negeri yang letaknya tak jauh dari daerah aliran sungai Deli kota Medan . Ibu yang bertubuh subur ini akrab disapa oleh guru-guru dan muridnya dengan panggilan Ibu Ros. Minggu depan usianya genap 59 tahun, sungguh usia yang cukup matang menjadi seorang tenaga pendidik. Sepatutnya, Ibu Ros sudah harus pensiun, tapi karena luas ilmunya dan cara pengajarannya yang disiplin lagi baik, jasanya masih dibutuhkan untuk mendidik anak-anak. Ibu Ros pun menikmati profesinya sebagai guru, malahan Ibu Ros lebih suka mengajar daripada duduk santai di rumah.

Di usia pengalamannya mengajar, ribuan siswa sudah banyak yang tamat dan mungkin juga sudah berhasil menduduki sejumlah jabatan penting. Ibu Ros sudah tentu tak hafal lagi wajah lugu murid-muridnya itu. Bisa jadi pula muridnya itu sudah berkeluarga dan anak-anak mereka disekolahkan di tempat Ibu Ros mengajar. Artinya, orang tua dan anak, kesemuanya murid Ibu Ros.

Ibu Ros mengajar bidang studi biologi. Dahulunya, Ibu Ros mengajar selalu naik angkutan umum (Angkot), tapi hampir 2 tahun ini Ibu Ros sudah naik sepeda motor scooter matic buatan produk Jepang. Sepeda motor ini Ibu Ros beli dengan cara kredit yang dibayar melalui pemotongan setengah dari gaji honornya. Ibu Ros hitung-hitung, ongkos angkot cukuplah membayar angsuran sepeda motornya. Belum lagi waktu dan rezeki lain dikejar jauh lebih menguntungkan, sebab Ibu Ros juga mendapat rezeki dari honor less tambahan di sekolah lain.

Pada Rabu pagi, Ibu Ros masuk lebih cepat daripada hari lainnya. Jam mengajarnya pagi itu pukul 07.30 WIB. Jarak rumah dengan sekolah ditempuh selama 40 menit, maka Ibu Ros wajib berangkat dari rumah kisaran pukul 06.20 WIB. Jika tiba di sekolah, Ibu Ros masih punya waktu sekitar 10 menit istirahat sejenak sambil menyiapkan bahan pelajaran yang akan disampaikan. Mengendarai scooter matic-nya, Ibu Ros jalan dengan kecepatan 35 KM/jam. Maklum saja, tubuhnya yang subur tak cukup lincah untuk melaju kecepatan kenderaannya. Belum lagi usianya dan kesehatan fisiknya, rasanya tak mendukung bagi Ibu Ros memacu kenderaannya itu.

Diperjalanan, ada yang lain perasaan Ibu Ros mengemudi sepeda motornya. Ibu Ros merasakan laju sepeda motornya betul-betul lambat. Mungkin scooter ini sudah masanya di service, duganya. Oh ya !! Sudah 2 bulan scooter ini tak di service, apalagi ganti Oli, gumamnya. Tapi, kali ini sangat tidak enak membawa scooter-nya. Ibu Ros bagaikan naik sepeda motor di atas sampan yang sedang diterjang ombak. Goyang kanan, goyang kiri dan hampir jatuh. Ibu Ros coba berhentikan scooter-nya ke bibir jalan, lalu ia perhatikan secara seksama scooter itu.

Uaallah..!! ban-nya boccoorr..!! oceh Ibu Ros dengan gaya bahasa khasnya. Sial banget pagi ini, ocehnya lagi.

Sambil mendorong scooter, mata Ibu Ros jelalatan lihat kesana, kemari, kekanan dan kekiri. Tapi dasar sial, yang dituju si penambal ban tak kunjung kelihatan. Ibu Ros melirik jam tangannya sudah pukul 07.15 WIB, berarti ia punya waktu 15 menit lagi.

Tubuh suburnya dibasahi keringat mengkujur deras. Wajah yang dilapisi bedak dan sedikit lipstrik mulai tak karuan. Nafasnya tersengal-sengal dan Ibu Ros kebingungan. Kasihan sekali guru yang malang ini.

Ibu Ros mengambil keputusan untuk duduk saja di bibir trotoar. Tubuhnya tak mungkin lagi mendorong scooter itu. Ibu Ros duduk lemas sambil berdoa, Oh Gusti Allah, berilah hamba Mu ini pertolongan.

Pagi Ibu ? Ada yang bisa saya bantu, sapa seseorang yang sengaja menghampirinya. Dalam kondisi lemas dan setengah sadar, Ibu Ros menoleh si penyapa yang ia tidak tahu dari mana datangnya. Fikirannya masih bingung, kacau dan sedikit pusing. Ibu Ros mengangkat kepalanya dan terkejut sedikit shock.

Ya ampun mati aku, serem banget muka orang ini, gumamnya. Ibu Ros dihampiri seseorang bertubuh besar, perut gendut, kulit hitam dan kumis tebal.

Ada yang bisa saya bantu ibu ? sapa orang itu. Ibu Ros meraih minuman di botol tupper ware-nya, ia teguk sedikit dan kondisi perlahan-lahan pulih. Oh rupanya, pak Polisi, bisik hatinya.

Ban sepeda motor saya bocor pak, saya udah capek mendorongnya, tapi tidak ketemu penambal ban, jawab Ibu Ros dengan lugu. Ibu mau kemana ? sapa Polisi itu. Saya mau mengajar, di sekolah SD negeri yang letaknya di sekitar daerah aliran sungai Deli, jawab Ibu Ros.

Polisi itu menawarkan jasa agar sepeda motor Ibu Ros dititipkan di Pos Polisi itu. Ibu Ros setuju, selepas mengajar ia ambil lagi sepeda motornya. Ibu Ros akhirnya pergi mengajar naik taksi dan tiba pukul 07.40 WIB. Ia terlambat 10 menit dari jam mengajarnya.

Sekitar 20 menit mengajar di kelas, kepala sekolah masuk ke dalam kelas Ibu Ros. Kepala Sekolah mohon izin waktu kepada Ibu Ros akan menyampaikan pengumuman duka cita dari seorang wali murid di kelasnya. Ibu Ros mempersilahkan dan langsung seluruh penghuni kelas itu terkejut bahwa orang tua salah satu murid di kelas Ibu Ros meninggal dunia 15 menit yang lalu.

Tentu saja murid menangis terisak-isak dan spontan menjerit histeris. Lalu pihak sekolah mengambil keputusan agar seluruh proses belajar mengajar dihentikan dan berangkat ke rumah duka.

Setiba di rumah duka, ratusan orang sudah penuh melayat. Ibu Ros juga ikut melayat bersama guru dan murid lainnya. Pihak sekolah menyampaikan rasa belasungkawa yang mendalam atas wafatnya salah seorang wali murid di sekolah mereka. Yang menyampaikan ucapan itu hanya kepala sekolah dan wakil kepala sekolah saja. Sementara guru-guru lainnya termasuk Ibu Ros hanya melayat di luar rumah duka.

Setelah 20 menit di rumah duka, mereka kembali ke sekolah dan dinyatakan boleh pulang ke rumah masing-masing. Ibu Ros memutuskan untuk pulang tapi ia harus mengambil sepeda motornya ke pos Polisi tadi. Kali ini ia tidak naik taksi, tapi diantarkan rekan mengajarnya dengan sepeda motor juga. Tiba di pos Polisi itu, ia lihat sepeda motornya masih utuh parkir di depan pos jaga itu.

Rekan gurunya tadi pun pulang ke rumah, Ibu Ros ucapkan terimakasih. Polisi yang di pos itu sudah berganti orang. Petugas ini tubuhnya agak ramping dan tidak berkumis.

Ini kunci sepeda motornya, coba periksa apakah ada yang kurang, sambut Polisi itu. Ibu Ros pastikan sedikit pun tak ada yang ganjil, tapi ban sepeda motornya sudah tidak bocor lagi. Terimakasih pak, ban sepeda motor saya sudah ditambalin, sapa Ibu Ros dengan rasa gembira. Ya udah Ibu, hati-hati di jalan, sambut Polisi itu.

Oh ya pak, bapak tadi pagi kemana ya ? tanya beliau. Kenapa Ibu, masih ada yang kurang ? tanpa Polisi itu balik. Bukan pak, saya mau ucapkan terimakasih sama beliau, ucap Ibu Ros. Sudahlah Ibu, bapak itu tidak usah dikenang lagi, mungkin sudah takdirnya, jawab Polisi itu. Lho!! Koq begitu, ada apa rupanya, Tanya Ibu Ros heran. Bapak itu sudah meninggal dunia 2 jam yang lalu, karena di tabrak angkot ketika bertugas mengatur lalu lintas, terang Polisi itu. Apa pak ? Meninggal dunia ? heran Ibu Ros.

Polisi itu menceritakan kronologis kejadiannya. Almarhum meminta dirinya untuk menjaga sebentar pos jaga ini. Katanya mau menempel ban sepeda motor ibu, agar Ibu pulang tidak susah lagi mendorong. Setibanya di tukang tambal ban, almarhum mengatur lalu lintas di sekitar lokasi itu. Sambil menunggu ban sepeda motor di tambal, almarhum mengatur lalu lintas yang kondisinya mulai tak menentu. Tapi dasar nasib, almarhum diserodok mobil angkot yang menyalip tanpa melihat situasi arah lalu lintas. Almarhum terhempas dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Karena terlalu banyak darah yang keluar, almarhum meninggal dunia.

Tapi almarhum sempat menelpon saya dengan pesawat selulernya, agar sepeda motor Ibu dibawa ke pos. Katanya, Ibu adalah gurunya dulu yang sering ia lecehkan. Tapi karena jasa Ibu ia sudah jadi Polisi. Sekarang anaknya pun jadi murid Ibu. Pesannya, masih belum ada arti jasa menambal ban dengan jasa mengajar Ibu sendiri. Almarhum tak sempat membawanya karena arus lalu lintas harus segera di atasinya. Makanya sepeda motor ibu, saya sendiri langsung yang bawa kemari. Saya sendiri tak sempat melihat jenazah beliau.

Ibu Ros langsung terduduk lemas, air matanya mengalir deras dan jantungnya berdetak cemas. Polisi yang wajahnya menakutkan itu ternyata hatinya sangat baik. Ia wafat di atas kemuliaan dan tugas negara. Ibu Ros tak sempat mengucapkan terimakasih. Dan rumah duka tadi ketika ia melayat ternyata polisi itu orang tua dari muridnya.

Oh Gusti Allah !! Sungguh malunya aku. Ia wafat karena sepeda motor ku. Kami berpisah setelah ban sepeda motor ini bocor Aku sendiri tak sempat menemuinya. Tapi ia langsung menemui Mu. Oh Gusti Allah !!! Ia balas jasa aku mengajar dengan sebuah tambalan ban, doa Ibu Ros sambil terisak-isak.



*Penulis* Alumnus SMA Negeri 1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pascasarjana USU Medan. Website; http://safwankhayat.blogspot.com/. Email; safwankhayat@yahoo.com

Terror Aksi Bom Pertanggungjawaban di Ujung Perilaku

Oleh,
Drs SAFWAN KHAYAT MHum


Sesungguhnya manusia diciptakan selalu bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kesenangan ia juga keluh kesah lagi amat kikir. Kecuali orang yang selalu menundukkan diri dengan kerendahan dihadapan Tuhannya. (QS. Al Ma’arij 19 – 22)


Ilusi, obsesi dan ambisi pasti ada dalam setiap diri manusia. Cita-cita, pesimisme dan optimisme selalu naik turun di setiap tarikan nafas jiwa. Terkadang berhasil, tapi tak jarang menemukan kegagalan. Ada yang ditimpa kesusahan, tak sedikit pula merasakan kesenangan. Ada pula yang merasakan limpahan harta, jabatan dan kemuliaan, cukup banyak pula umat manusia yang merasakan kekurangan, penderitaan dan hinaan.
Banyak pula yang tertawa, tapi dibalik itu tak kurang sedikit yang menangis durja. Kegembiraan menyambut kemenangan, kesedihan membungkus kekalahan. Senyuman menghias wajah keramahan, beringas membentuk watak kemarahan. Pujian atas sikap kesabaran, hukuman setimpal jatuh bagi kesadisan. Hidup mesti dipertangggung jawabkan, mati media awal dimulainya pertanggungjawaban. Iman hari penghisaban, ingkar pasti mendapat setimpal balasan. Begitulah hidup manusia dengan ragam persoalan silih berganti.
Manusia diberi kesusahan, ia berkeluh kesah. Naifnya, tatkala ia diberi kesenangan, juga keluh kesah dan cendrung kikir. Gambaran ini persis dinyatakan Tuhan dalam firman-Nya seperti awal di atas tulisan ini. Luapan kegembiraan nyata terlihat bila sekelompok manusia merasakan sesuatu hal meraih kesempatan, keberhasilan atau kemenangan. Refleksi kekecewaan tak jarang terungkap dengan aksi tindakan yang merusak diri dan orang lain.
Gambaran silang kehidupan manusia bukanlah sepenuhnya takdir, tapi terkadang perilaku itu tak jarang pula dipolitisir. Sikap keluh-kesah merupakan sikap egoistis manusia yang lebih peka mementingkan diri sendiri. Kesabaran bisa berdampak pada diri dan sekitarnya, kemarahan juga membawa efek negatif bagi diri dan sekitarnya pula. Kepuasan dinilai wajar bila prestasi berhasil digapai, ketidakpuasan sering terungkap dengan perilaku yang arogan, brutal, sadis dan anarkis yang berbau ketidak prikemanusiaan.
Dalam berbagai realitas sosial, ungkapan ketidakpuasan acapkali tampil dengan adegan berlawanan (antagonis). Tidak saja dalam bentuk merusak, tapi dapat berlanjut pada upaya terencana untuk membunuh. Naifnya, ketidakpuasan yang berbuntut kemarahan kerap pula merugikan orang lain yang sama sekali tidak mengerti, tidak bersalah atau tidak ada kaitannya dengan rasa ketidakpuasan itu. Berbagai cara dilakukan demi memenuhi hasrat kebusukan dari rasa ketidakpuasan tadi.
Misalnya saja aksi terror yang berujung dengan munculnya peristiwa bom yang terjadi pada beberapa kejadian di negara belahan dunia khususnya Indonesia . Aksi terror ini adalah ungkap ketidakpuasan yang diluapkan dengan tindakan busuk, tidak berkemanusiaan, egoistik dan tidak berjiwa besar. Aksi terror dengan merusak dan menghilangkan nyawa orang adalah refleksi cermin seperti yang disampaikan Tuhan dalam firman-Nya di awal tulisan ini. Sikap keluh-kesah lagi kikir merupakan tampilan nyata bagi orang-orang yang jauh dari nilai kemanusiaan dan keberTuhanan.
Sebagai warga yang tinggal dalam sebuah negara, perilaku menyimpang pasti mendapat hukuman setimpal. Tetapi sadarlah, sebagai umat manusia yang tinggal di bumi ini, Tuhan tak pernah luput merekam segala perbuatan yang melawan hukum ketentuan-Nya. Bisa jadi harta, jaringan dan jabatan dapat menyelamatkan seseorang lepas dari jeratan hukum negara (dunia). Tetapi jeratan hukum Tuhan tak mengenal kompromi terhadap harta, jaringan dan jabatan.
Keuangan, kekuatan dan kekuasaan tak berlangsung lama sepanjang semua itu masih bertahan dalam lingkaran kemampuan di dunia. Manakala kisah kehidupan manusia harus berakhir di ujung kematian, maka kisah itu diperhitungkan menurut kadar baik-buruknya. Perilaku terror dengan pengeboman pasti berujung pada bentuk pertanggungjawaban secara dunia dan akhirat. Bisa jadi pelaku jaringan aksi terror berpesta foya dengan peristiwa ini, tetapi ribuan orang berakhir hidupnya dengan menggenaskan. Jutaan manusia hidup dalam ketakutan karena ancaman terror berakhir entah sampai kapan.
Agama mengajarkan merusak, menganiaya dan membunuh adalah perbuatan zalim di mata Tuhan. Tak ada ajaran apapun yang membenarkan perbuatan sadis dan anarkis. Mari kita pahami bahwa hidup di bumi Tuhan ini bukan kita sendiri. Ada orang lain yang kita sayangi dan cintai. Ada keluarga kita, saudara, dan jutaan karib kerabat. Bisa jadi pula mereka menjadi korban atau ancaman mendatang dari perilaku terror itu sendiri. Jangan pernah berfikir bahwa perbuatan terror adalah awal kemenangan. Bukan, sekali bukan sebab cara itu perbuatan yang salah. Tetapi ingatlah, terro aksi bom akan dipertanggungjawabkan di ujung perilaku. Baik di mata manusia (dunia), maupun di mata Tuhan (akhirat). Semoga kita terlindung dari kemurkaan Tuhan. Naudzu billahi min dzalik…!!

*Penulis*, Alumnus SMA Negeri 1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pasca Sarjana USU Medan. Website: http://safwankhayat.blogspot.com. Email: safwankhayat@yahoo.com.

Duka Mangkubumi

Duka Mangkubumi dan Perubahan Kaum

Di malam yang hening dan sunyi dengan nyilur angin berhembus menusuk sum-sum nan dingin terbesit renyuhnya hati merasakan larutan duka saudara kita pada tragedi Mangkubumi. Di malam itu selepas menghambakan diri kepada sang Khaliq Tuhan Yang Maha Agung, aliran darah yang setitik, rambut yang sehelai menyatu dalam detak jantung dan fikiran tentang nasib masa depan mereka. Tragedi itu berakhir dengan kesedihan, kepedihan dan kepasrahan yang bermuara dengan sebutan Duka Mangkubumi.

Duka Mangkubumi menjadi duka kemanusiaan yang dirampas kejamnya si Jago Merah melahap dengan laparnya dengan membakar harta, cerita, cinta, angan dan masa depan. Gumpalan api yang lapar hanya menyisakan bangkai bangunan dan puing-puing kedukaan yang telah meluluhlantakkan area kawasan. Merahnya api seketika menghitamkan kawasan itu tanpa memperdulikan tatapan sedih dan ratapan pedih.

Tragedi ini adalah Duka Mangkubumi yang harus kita sambut dengan sikap kemanusiaan melalui uluran tangan yang ikhlas guna menjemput perhatian, semangat dan kesetiakawanan. Ratusan bahkan miliaran harta benda hilang, tetapi triliunan cita, harapan dan masa depan ikut terbakar. Masa depan suram, pendidikan anak terancam dan kegundahan mulai mencekam.

Di atas pusaran sajadah ke dua tangan ikut bertengadah dengan munajat doa agar dapat menyelimuti tidur mereka di malam itu. Cucuran air mata ikut meramaikan munajat doa kepada Tuhan Yang Maha Penyayang atas hamba-hamba-Nya. Ternyata, munajat doa tidak cukup menyelimuti nyenyaknya tidur mereka, sebab masih ada desakan lain yang harus dilakukan guna menghapus Duka Mangkubumi. Lalu kedua tangan ini meraih sebatang pena yang bergulir begitu cepat menetaskan goresan gagasan agar kita harus berubah.

Putaran jarum jam berpacu dengan cepatnya goresan pena sambil melemparkan secercah pertanyaan tentang tragedi itu. Apakah Duka Mangkubumi terbakar karena ditentukan manusia atau ketentuan Tuhan ? Bagaimana nasib mereka dan anak-anaknya? Apakah Duka Mangkubumi harus berakhir dengan seperti ini? Ataukah masih menyusul duka-duka berikutnya ?

Duka Mangkubumi adalah fenomena nyata bahwa kawasan padat peduduk ini menjadi sorotan bagi siapa saja. Daftar pertanyaan di atas hanya sebatas tajamnya pena mengejar fenomena itu tanpa bermaksud menimbulkan prasangka. Tetapi kita harus berfikir jernih bahwa setiap kesempitan pasti ada kelapangan, setiap kesulitan selalu ada jalan kemudahan, dan di antara itu pula segala sesuatu urusan hanya kembali kepada Tuhan Pencipta Alam.

Amal kebajikan harus kita rajut dalam ikatan persaudaraan dengan membangun jembatan hati di atas pilar kesetiakawanan. Jembatan hati menjadi lintasan kehidupan dalam melangkah dengan sebuah keniscayaan bahwa segala sesuatu hanyalah pinjaman yang dititipkan Tuhan kepada umat manusia. Duka Mangkubumi menjadi bagian dari proses sirkulasi kehidupan yang dinyatakan dalam ketentuan Iradat Tuhan bahwa segala sesuatu pasti kembali kepada-Nya. Sesuatu itu adalah apa saja yang kita miliki, rasakan dan nyatakan akan dituntut pertanggungjawaban dalam sebuah sidang akbar kemanusiaan pada akhirnya nanti. Perbuatan baik dan buruk akan di balas menurut kadarnya, begitu pula kezhaliman pasti dijawab Tuhan dengan kemurkaan. Na udzubillahi min dzalik!!

“Bagi orang yang melakukan suatu perbuatan baik, maka Tuhan membalas dengan yang baik, bagi mereka melakukan perbuatan buruk sekalipun mereka memiliki harta dan kekuasaan, maka mereka pasti menebus dirinya. Orang seperti ini Tuhan siapkan perhitungan yang buruk dan tempat kediaman mereka neraka Jahanam. Seburuk-buruk tempat adalah neraka Jahanam. (QS. Ar Radu; 18).

Perubahan Suatu Kaum

Kita perlu perubahan ke arah yang lebih baik guna mengurangi sifat ego diri yang terkadang membuat kita gagal dalam hidup. Perubahan itu yakni perubahan atas pola tindak, landasan berfikir, teknik pengambilan keputusan dan pola kepemimpinan. Perubahan itu harus syarat dengan sisi kemanusiaan sebagai wujud perilaku hukum berkeTuhanan dengan menjaga kemaslahatan alam. Jika kita gunakan Firman Tuhan dalam kitab suci yang Agung, perubahan itu sendiri sangat bergantung diri manusia.

“Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang melakukan perubahan. Apabila Tuhan menghendaki situasi buruk (kacau) kepada kaum itu, maka tidak ada yang dapat menolaknya, tidak ada yang bisa berlindung dari Dia”.(QS Ar Radu; 11)

“Sesungguhnya Allah tidak merubah suatu nikmat yang telah dianugrahkanNya kepada suatu kaum, tetapi kaum itu yang merubah nikmat yang ada pada dirinya sendiri”. (QS Al Anfal 53)

Perubahan suatu proses meninggalkan atau melepaskan suatu keadaan menuju target-target kehidupan/perjuangan. Target kehidupan itu lebih menitikberatkan pada suatu ruang kehidupan yang lebih akomodatif, adaptif dan produktif. Namun tetap saja dalam prosesnya, perubahan tidak bisa lepas dari pengorbanan dan dikorbankan.

Duka Mangkubumi memberi inspirasi atas rangkaian peristiwa yang ada bahwa nafas perubahan selalu menyita waktu untuk mengkaji haruskah ada pengrbanan atau dikorbankan. Duka kemanusiaan itu adalah sample dari nafas perubahan yang berujung pada ruang kenyataan tatkala tujuan, harapan dan kenyataan bersinggungan. Apakah Duka Mangkubumi menjadi awal dari perubahan kaum yang ditentukan manusia atau ketentuan Tuhan ?

Dasar dari perubahan adalah nilai kesadaran yang bersikukuh melepaskan pola lama menuju arah yang positif. Kesadaran ini begitu perlu sebab menjadi pilar diri menjemput perubahan. Kesadaran melahirkan perilaku positif paling ampuh menggagalkan perbuatan sia-sia. Agama juga mengajarkan kita bahwa tanpa kesadaran maka perbuatan merugi lagi sia-sia bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan agama.

Duka Mangkubumi merupakan tragedi yang berujung dengan luka kepedihan. Luka kepedihan yang larut dapat menghambat perubahan kaum. Caranya kita harus mengobati dengan membalut motivasi, sabar, ikhlas dan nilai taqwa bahwa cobaan ini juga bagian dari gerakan perubahan kaum. Cukupkah itu, tentu tidak !! Kebijakan juga mempercepat perubahan dengan landasan kemanusiaan pula. Rehabilitasi, renovasi dan rekondisi lokasi kejadian harus syarat pula dengan nilai kemanusiaan yang tidak bisa ditawar. Jika tidak, Duka Mangkubumi pasti terus tanpa memperhatikan tujuan perubahan yang diharapkan mereka.

Mari kita ganti duka dengan suka, luka dengan bahagia, durja dengan candatawa. Mangkubumi harus kembali tersenyum melalui nafas perubahan dengan meninggalkan masa tekanan dengan masa pengembangan. Perubahan yang beradab menjadi cita-cita, sebab perubahanlah yang mampu menjemput kehidupan yang lebih beradab pula. Tetapi yang terpenting, perubahan kaum yang berkemanusiaan tidak akan bisa berdiri tegak tanpa dilandasi sikap berkeTuhanan. Wallahu a’lam bi shawab..!!

P. Siantar, 24 Nov 2008

Drs. Safwan Khayat M. Hum
Penulis, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pascasarja USU Email; safwankhayat@yahoo.com dan http://safwankhayat.blogspot.com

Setitik Darah, Hanya Untuk Sepatu Sekolah

Oleh, :Drs.SAFWAN KHAYAT MHum


Tak jauh dari bibir sungai Deli, berdiri sebuah rumah berukuran 6 x 15m dengan ornament eksterior kombinasi kayu dan batu, dipagari kayu bambu yang mulai lapuk serta beberapa tanaman hias nyaris tak terurus oleh pemiliknya. Disitulah Timpal Tarigan seorang pengemudi angkutan kota (Angkot) tinggal bersama isterinya boru Nasution dan sepasang anak (laki-perempuan) belahan hati mereka. Tarigan di bulan ini genap berusia 55 tahun, sedangkan isterinya 8 bulan lagi genap berusia 41 tahun. Usia yang terpaut 14 tahun ini tak menjadi penghalang bagi mereka dalam membina rumah tangganya. Justru, dengan kedewasaan Tarigan, mampu membimbing istrinya untuk memahami keterbatasan dirinya. Tarigan agak terlambat menikah. Sepasang belahan hati baru berusia 12 tahun dan 9 tahun. bukan saja lambat menikah, tetapi beliau juga terlambat mendapat karunia anak dari Tuhan.
Kehidupan Tarigan berjalan normal saja. Ia bekerja dan tekun beribadah. Setiap pagi belum bekerja mengemudi Angkot, isterinya selalu menyiapkan sarapan pagi dan kebutuhan dirinya. Di mulai dari secangkir kopi, sepiring nasi, sebatang rokok dan handuk kecil yang terus berganti setiap hari. Semua dilakukan isterinya dengan penuh ikhlas, cinta dan rasa abdinya kepada suami. Walau ekonomi pas-pasan, tapi Tarigan seorang ayah yang bertanggungjawab.
Tutur bahasanya yang khas keras tak berarti hatinya keras. Justru di mata boru Nasution, Timpal Tarigan seorang pria yang menarik, jujur, bertanggungjawab dan sayang dengan keluarga. Kedua anaknya, kerap bermanja-manja pada saat Tarigan sudah pulang kerja. Rasa capek hilang, rasa kesal buyar manakala ia bersama anak-anaknya berkumpul bercanda. Padahal, setoran angkot sering kurang, tapi kebahagiaan bersama keluarga mengalahkan persoalannya di pekerjaan.
Di suatu malam tepat pukul 22.15 WIB, Tarigan bercerita kepada istrinya bahwa besok Angkotnya mau di sewa untuk membawa rombongan perpisahan anak sekolah SLTP Negeri. Menurut rencananya, rute perjalanan di mulai dari halaman sekolah menuju lokasi taman hiburan dan rekreasi di Brastagi Tanah Karo. Sewanya lumayan, bisa buat setoran 2 hari dan sisanya bisa beli sepatu sekolah anak.
Isteri mengaguk setuju, dan semoga suaminya mendapat rezeki bisa beli sepatu sekolah anaknya. Sebab, sudah 3 tahun anaknya tidak ganti sepatu, apalagi tapak sepatu sekolah anaknya sudah berkali-kali dijahit alias tambal sulam. Begitulah rencana Tarigan andaikan besok ia mendapat rezeki dari sewa Angkotnya.
Tepat pukul 6.00 WIB, Tarigan sudah siap berangkat kerja. Mesin Angkot sudah dipanasi, sarapan pun sudah dilahap habis, kopi secangkir sudah kering, rokok sebatang tinggal busanya saja. Artinya, aktifitas sebelum bekerja semuanya sudah ia jalani di pagi itu. Sebelum kerja, isterinya menciumi tangannya dan anak-anak di ciumi pipinya. Sikap seperti biasa dilakukan ketika hendak berangkat kerja.
Tarigan pun mengambil kunci kontak dan langsung menghidupkan mesin angkotnya. Isteri dan anak melepas beliau di depan pintu rumah yang berukuran kecil tadi. Sambil melepas bekerja, si anak melambai tangan kepada ayahnya dan Tarigan menyambut lambaian tangan belahan hatinya. Tarigan berkata; Ayah kerja dulu ya ? Ia Ayah, hati-hati ? jawab anaknya. Pagi itu berjalan normal saja. Tak ada hal-hal yang luar biasa, karena Tarigan dan keluarga hanyalah orang biasa-biasa saja.
Singkat cerita, Tarigan membawa rombongan pelajar SLTP Negeri itu ke Brastagi. Perjalanan penuh asyik, canda tawa dan akrab. Mereka tiba kembali ke kota Medan tepat pukul 18.45 WIB. Diperjalanan tidak ada hambatan yang berarti. Seluruh perjalan lancar nyaris tak ada gangguan atau kendala. Setelah tiba, seluruh pelajar turun dan perjanjian sewa Angkot-pun dilunasi.
Tarigan sangat senang, gembira dan tersenyum lebar. Ia memperoleh rezeki yang lumayan hari ini. Ia berniat besok tidak narik dulu, sebab ia sudah berjanji mau beli sepatu sekolah anaknya.
Tarigan pun pulang dan langsung tancap gas. Sambil menyetir mobil tak urung sambil bernyanyi sebuah lagu yang sedang popular. Tentu saja lagu itu tidak lain adalah lagu anak medan. Tak sadar, Tarigan menekan gas Angkot-nya dengan kecepatan tinggi. Malam itu hujan sedikit lebat, jalanan licin dan sunyi. Tarigan tak perdulikan itu karena larut dalam luapan kegembiraan. Ia ingin cepat sampai di rumah. Karena syahwat kegembiraannya, Tarigan hilang kontrol diri mengemudi Angkotnya. Lobang-lobang di jalanan ia lalui saja, lampu merah dipersimpangan ia terobos dan safety belt tak dipakai.
Ketika mendekati rumahnya, ada simpang tiga yang selama cukup rawan kecelakaan. Tanpa basa basi, Tarigan sosor saja Angkot-nya, dan akhirnya, prakk…!! drum..!! Bunyi suara benturan yang cukup keras hingga mengejutkan warga sekitar. Angkot itu berbenturan keras dengan sebuah mobil Kijang Inova G yang datang kecepatan tinggi juga. Tubuh tarigan terpental keluar dan kepalanya menghantam kaca depan. Tubuhnya remuk redam, tulang lunglai dan darah mengalir deras.
Warga segera menolong Tarigan yang mulai kehilangan banyak darah dilarikan ke rumah sakit. Isteri dan anaknya betapa kaget dan shock mendengar musibah ini. Mereka langsung menuju rumah sakit menjenguk Tarigan sedang berjuang dengan maut. Untuk menyelamatkan jiwanya, trasfusi darah harus segera dilakukan. Persediaan darah di rumah sakit sangat terbatas. Stock yang ada juga tak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk Tarigan.
Darah isterinya tak sesuai dengan Tarigan. Berbagai upaya isterinya mencari donor bantuan, tapi usaha itu sia-sia. Sebab masih sedikit para pendonoh darah yang ikhlas memberikan darahnya. Tarigan butuh sangat butuh darah, sebab hanya itulah jalan yang bisa menyelamatkannya.
Salah seorang anaknya berusia 9 tahun memiliki golongan darah yang sama dengan Tarigan. Tapi anak itu masih terlalu kecil dan belum pantas untuk mendonor. Si anak terus menangis dan pasrah. Bathinnya terus berdoa semoga ayahnya selamat dari maut. Ia masih belum sanggup kehilangan ayahnya.
Tak disadari si anak berkata pada ayahnya dengan polos dan lugu. Ayah, ambillah darah ku ini untuk ayah. Aku siap mati memberikan darah ku demi sebuah sepatu sekolah. Andaikan ayah mati kehabisan darah, semua ini ayah lakukan demi sepatu sekolah, maka aku pun ikhlas menggantikan dengan darah ku demi kau bisa beli sepatu sekolah.
Tarigan hanya bisa mendengar sayup-sayup suara anaknya, karena seluruh tubuhnya tak berdaya. Akhirnya Tarigan menghembuskan nafas terakhir. Ia kehilangan banyak darah demi sepatu sekolah.
Menangislah isteri dan anak-anaknya ditinggal pergi selamanya oleh seorang ayah yang berjuang sampai darah terakhir demi sepatu sekolah. Andaikan ada stock darah, mungkin Tarigan bisa diselamatkan. Lalu si ibu berkata kepada anaknya; Nak, Jika kalian sudah dewasa, donorkan darah kalian untuk kemanusiaan. Sebab, setitik darah menjadi perjuangan demi sepatu sekolah bagi yang lain.

*PENULIS, Alumnus SMA Negeri-1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pascasarja USU Medan. Website; http;//Selalukuingat.blogspot.com. Email; safwankhayat@yahoo.com

Setitik Darah, Hanya Untuk Sepatu Sekolah

Oleh, :Drs.SAFWAN KHAYAT MHum


Tak jauh dari bibir sungai Deli, berdiri sebuah rumah berukuran 6 x 15m dengan ornament eksterior kombinasi kayu dan batu, dipagari kayu bambu yang mulai lapuk serta beberapa tanaman hias nyaris tak terurus oleh pemiliknya. Disitulah Timpal Tarigan seorang pengemudi angkutan kota (Angkot) tinggal bersama isterinya boru Nasution dan sepasang anak (laki-perempuan) belahan hati mereka. Tarigan di bulan ini genap berusia 55 tahun, sedangkan isterinya 8 bulan lagi genap berusia 41 tahun. Usia yang terpaut 14 tahun ini tak menjadi penghalang bagi mereka dalam membina rumah tangganya. Justru, dengan kedewasaan Tarigan, mampu membimbing istrinya untuk memahami keterbatasan dirinya. Tarigan agak terlambat menikah. Sepasang belahan hati baru berusia 12 tahun dan 9 tahun. bukan saja lambat menikah, tetapi beliau juga terlambat mendapat karunia anak dari Tuhan.
Kehidupan Tarigan berjalan normal saja. Ia bekerja dan tekun beribadah. Setiap pagi belum bekerja mengemudi Angkot, isterinya selalu menyiapkan sarapan pagi dan kebutuhan dirinya. Di mulai dari secangkir kopi, sepiring nasi, sebatang rokok dan handuk kecil yang terus berganti setiap hari. Semua dilakukan isterinya dengan penuh ikhlas, cinta dan rasa abdinya kepada suami. Walau ekonomi pas-pasan, tapi Tarigan seorang ayah yang bertanggungjawab.
Tutur bahasanya yang khas keras tak berarti hatinya keras. Justru di mata boru Nasution, Timpal Tarigan seorang pria yang menarik, jujur, bertanggungjawab dan sayang dengan keluarga. Kedua anaknya, kerap bermanja-manja pada saat Tarigan sudah pulang kerja. Rasa capek hilang, rasa kesal buyar manakala ia bersama anak-anaknya berkumpul bercanda. Padahal, setoran angkot sering kurang, tapi kebahagiaan bersama keluarga mengalahkan persoalannya di pekerjaan.
Di suatu malam tepat pukul 22.15 WIB, Tarigan bercerita kepada istrinya bahwa besok Angkotnya mau di sewa untuk membawa rombongan perpisahan anak sekolah SLTP Negeri. Menurut rencananya, rute perjalanan di mulai dari halaman sekolah menuju lokasi taman hiburan dan rekreasi di Brastagi Tanah Karo. Sewanya lumayan, bisa buat setoran 2 hari dan sisanya bisa beli sepatu sekolah anak.
Isteri mengaguk setuju, dan semoga suaminya mendapat rezeki bisa beli sepatu sekolah anaknya. Sebab, sudah 3 tahun anaknya tidak ganti sepatu, apalagi tapak sepatu sekolah anaknya sudah berkali-kali dijahit alias tambal sulam. Begitulah rencana Tarigan andaikan besok ia mendapat rezeki dari sewa Angkotnya.
Tepat pukul 6.00 WIB, Tarigan sudah siap berangkat kerja. Mesin Angkot sudah dipanasi, sarapan pun sudah dilahap habis, kopi secangkir sudah kering, rokok sebatang tinggal busanya saja. Artinya, aktifitas sebelum bekerja semuanya sudah ia jalani di pagi itu. Sebelum kerja, isterinya menciumi tangannya dan anak-anak di ciumi pipinya. Sikap seperti biasa dilakukan ketika hendak berangkat kerja.
Tarigan pun mengambil kunci kontak dan langsung menghidupkan mesin angkotnya. Isteri dan anak melepas beliau di depan pintu rumah yang berukuran kecil tadi. Sambil melepas bekerja, si anak melambai tangan kepada ayahnya dan Tarigan menyambut lambaian tangan belahan hatinya. Tarigan berkata; Ayah kerja dulu ya ? Ia Ayah, hati-hati ? jawab anaknya. Pagi itu berjalan normal saja. Tak ada hal-hal yang luar biasa, karena Tarigan dan keluarga hanyalah orang biasa-biasa saja.
Singkat cerita, Tarigan membawa rombongan pelajar SLTP Negeri itu ke Brastagi. Perjalanan penuh asyik, canda tawa dan akrab. Mereka tiba kembali ke kota Medan tepat pukul 18.45 WIB. Diperjalanan tidak ada hambatan yang berarti. Seluruh perjalan lancar nyaris tak ada gangguan atau kendala. Setelah tiba, seluruh pelajar turun dan perjanjian sewa Angkot-pun dilunasi.
Tarigan sangat senang, gembira dan tersenyum lebar. Ia memperoleh rezeki yang lumayan hari ini. Ia berniat besok tidak narik dulu, sebab ia sudah berjanji mau beli sepatu sekolah anaknya.
Tarigan pun pulang dan langsung tancap gas. Sambil menyetir mobil tak urung sambil bernyanyi sebuah lagu yang sedang popular. Tentu saja lagu itu tidak lain adalah lagu anak medan. Tak sadar, Tarigan menekan gas Angkot-nya dengan kecepatan tinggi. Malam itu hujan sedikit lebat, jalanan licin dan sunyi. Tarigan tak perdulikan itu karena larut dalam luapan kegembiraan. Ia ingin cepat sampai di rumah. Karena syahwat kegembiraannya, Tarigan hilang kontrol diri mengemudi Angkotnya. Lobang-lobang di jalanan ia lalui saja, lampu merah dipersimpangan ia terobos dan safety belt tak dipakai.
Ketika mendekati rumahnya, ada simpang tiga yang selama cukup rawan kecelakaan. Tanpa basa basi, Tarigan sosor saja Angkot-nya, dan akhirnya, prakk…!! drum..!! Bunyi suara benturan yang cukup keras hingga mengejutkan warga sekitar. Angkot itu berbenturan keras dengan sebuah mobil Kijang Inova G yang datang kecepatan tinggi juga. Tubuh tarigan terpental keluar dan kepalanya menghantam kaca depan. Tubuhnya remuk redam, tulang lunglai dan darah mengalir deras.
Warga segera menolong Tarigan yang mulai kehilangan banyak darah dilarikan ke rumah sakit. Isteri dan anaknya betapa kaget dan shock mendengar musibah ini. Mereka langsung menuju rumah sakit menjenguk Tarigan sedang berjuang dengan maut. Untuk menyelamatkan jiwanya, trasfusi darah harus segera dilakukan. Persediaan darah di rumah sakit sangat terbatas. Stock yang ada juga tak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk Tarigan.
Darah isterinya tak sesuai dengan Tarigan. Berbagai upaya isterinya mencari donor bantuan, tapi usaha itu sia-sia. Sebab masih sedikit para pendonoh darah yang ikhlas memberikan darahnya. Tarigan butuh sangat butuh darah, sebab hanya itulah jalan yang bisa menyelamatkannya.
Salah seorang anaknya berusia 9 tahun memiliki golongan darah yang sama dengan Tarigan. Tapi anak itu masih terlalu kecil dan belum pantas untuk mendonor. Si anak terus menangis dan pasrah. Bathinnya terus berdoa semoga ayahnya selamat dari maut. Ia masih belum sanggup kehilangan ayahnya.
Tak disadari si anak berkata pada ayahnya dengan polos dan lugu. Ayah, ambillah darah ku ini untuk ayah. Aku siap mati memberikan darah ku demi sebuah sepatu sekolah. Andaikan ayah mati kehabisan darah, semua ini ayah lakukan demi sepatu sekolah, maka aku pun ikhlas menggantikan dengan darah ku demi kau bisa beli sepatu sekolah.
Tarigan hanya bisa mendengar sayup-sayup suara anaknya, karena seluruh tubuhnya tak berdaya. Akhirnya Tarigan menghembuskan nafas terakhir. Ia kehilangan banyak darah demi sepatu sekolah.
Menangislah isteri dan anak-anaknya ditinggal pergi selamanya oleh seorang ayah yang berjuang sampai darah terakhir demi sepatu sekolah. Andaikan ada stock darah, mungkin Tarigan bisa diselamatkan. Lalu si ibu berkata kepada anaknya; Nak, Jika kalian sudah dewasa, donorkan darah kalian untuk kemanusiaan. Sebab, setitik darah menjadi perjuangan demi sepatu sekolah bagi yang lain.

*PENULIS, Alumnus SMA Negeri-1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pascasarja USU Medan. Website; http;//Selalukuingat.blogspot.com. Email; safwankhayat@yahoo.com

MEDAN DAN HUJAN

Oleh :
Drs. Safwan Khayat, M.Hum

Gumpalan awan hitam terus bergerak yang telah mencurahkan hujan membasahi tanah Medan hingga ke ubun-ubun bumi yang paling dalam. Medan basah oleh hujan yang deras sebagai pertanda cucuran karunia Tuhan Yang Maha Esa seakan tiada pernah putus melingkari Rahmat-Nya.. Curahan karunia Tuhan menjadi i’tibar bagi kita bahwa hujan bukanlah bencana tetapi limpahan karunia-Nya di atas kekuasaan-Nya yang menjadikan seluruh hamparan bumi menjadi subur oleh siraman hujan. Setiap titik air dari jutaan titik air hujan membawa harapan kehidupan bahwa air menjadi sumber penghidupan manusia di muka bumi. Setitik air menjadi penyambung kehidupan makhluk di muka bumi dengan kesegaran dan kekuatannya telah menambah daftar panjang kehidupan seluruh ciptaan Tuhan.

Hujan bukanlah bencana, tetapi hujan adalah rahmat dan karunia Tuhan yang patut kita syukuri. Hujan menjanjikan sebuah kehidupan yang hidup dengan sifat kelembutan, kesejukan dan terapi pertumbuhan. Begitulah jika hujan turun maka bumi dan seluruh penghuninya mensorak ceria menyambut datangnya air keberkahan.

Seandainya kita tidak bersyukur atas limpahan karunia Tuhan dengan menjaga, merawat dan memperbaiki nikmat yang pernah dirasakan, maka hujan menjadi serangan yang menakutkan oleh orang-orang yang tidak menyadari rahmat dan karunia Tuhan. Gumpalan jutaan air hujan dapat menjadi suasana menjadi mencekam tatkala fasilitas alam yang kita nikmati tidak terawat. Bumi akan terendam oleh derasnya serangan hujan yang menikam tajam sampai ke sumsum perut bumi. Derasnya hujan, bumi tidak mampu menampung dikarenakan fasilitas alam terbengkalai dan dirusak. Hutan di babat tajam hingga tidak menyisakan akar kehidupan, sistem drainase yang terbengkalai hingga tidak mampu menyambut curahan hujan, sampah yang menumpuk seakan tidak enggan keluar dari lingkaran kebersihan dan sungai pun enggan menyambut datangnya hujan karena penuh dengan tumpukan kotoran.

Jika hujan tiba, kota Medan seakan cemas bagaikan di serang balatentara dari Tuhan. Gumpalan awan hitam dengan ledekan bom halilintar mengeluarkan jutaan peluru air hujan memberangus seluruh sisi kota Medan. Medan tergenang, Medan banjir dan Medan tenggelam. Sungai-sungai menolak kedatangan hujan yang akhirnya memuntahkannya kedaratan. Parit atau selokan juga tidak mampu berbuat banyak hanya bisa pasrah dan berdoa semoga sistem pembangunan lebih mengutamakan perawatan daripada keuntungan. Badan jalan penuh genangan air dan menjadi rusak di makan ketamakan. Pohon bertumbangan sambil mengintip siapa sasaran yang menjadi korban. Lalu lintas semakin amburadul karena tidak mampu menangkis serangan hujan.

Duhai kawan, aku, kamu, kami, kita, mereka dan siapun dia yang menjadi Medan sebagai kota pengharapan mari kita rawat dan jaga. Jangan sampai terjadi rahmat dan karunia Tuhan berujung kepada bencana. Hujan bukan lawan tetapi dambaan bagi makhluk hidup yang ada di muka bumi. Ketajaman hujan menjanjikan jutaan harapan dari setiap butir air yang tercurah membahasi kota Medan. Tetapi ketajaman hujan menjadi menakutkan ketika ruang kemanusiaan tidak lagi menjadi modal dalam merawat kota Medan.

Kita harus menyakini dan tetap meyakini bahwa Hujan adalah janji Tuhan yang mampu menghasilkan jutaan pengharapan. Hujan menyuburkan tanaman, menggemburkan lahan, menyejukan alam, membasahi sisi kekeringan dan melenturkan ketegangan. Hujan menjadi siksaan manakala manusia tidak pernah menghargai hasil cipta, karya dan karsa yang sepatutnya untuk kemaslahatan pula. Mudah-mudahan, Medan tetap bersyukur atas kedatangan hujan tanpa rasa cemas dan ketakutan.

Penulis, Alumnus dan dosen UMA, Alumnus Pascasarjana USU, Email; safwankhayat@yahoo.com

Menata Medan Kota Peradaban

oleh:
Drs.Safwan Khayat,M.Hum


Sesungguhnya ada 2 (dua) segmentasi yang menjadi titik fokus dalam tulisan ini yaitu; pertama, mendeskripsikan kota Medan yang pertumbuhannya cukup pesat khususnya pada sektor perekonomian sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa). Tidak sampai disini saja, kota Medan juga produktif merias wajahnya dengan tatanan kehidupan penduduknya yang dinamis, toleran dan religius. Maka tidak heran bila dalam peristiwa tertentu, kota ini tampil bagaikan kota biru yang selalu mengkumandangkan alunan irama “zikir” yang bernafas budaya, agama dan kebangsaan. Walau didiami oleh kemajemukan penduduknya, kota Medan yang tumbuh sebagai kota Metropolis tetap menjaga nuansa keberTuhanan dari masing-masing pemeluknya. Sungguh sebuah tampilan kota yang representatif di masa kepemimpinan Walikota Medan Drs.H.Abdillah Ak.MBA dan Wakilnya Drs.H. Ramli Lubis. MM.
Kedua, menggagas pertumbuhan kota dengan menata kota Medan yang tertib, religius dan beradab. Untuk pembahasan ini memfokuskan tentang konsep dan arah pembangunan kota Medan yang lebih santun dengan memperhatikan aspek kepentingan kemanusiaan.

Sekilas Tentang Kota
Pada umumnya kota diartikan sebagai suatu permukaan wilayah pemusatan (konsentrasi) penduduk dengan berbagai jenis kegiatan ekonomi, sosial budaya dan administrasi pemerintahan. Secara lebih rinci deskripsi tentang kota meliputi lahan geografis utamanya untuk permukiman; berpenduduk dalam jumlah relatif banyak (besar); diatas lahan yang relatif terbatas luasnya; mata pencaharian penduduk di dominasi oleh kegiatan non-pertanian; sebagian besar merupakan kegiatan bergerak pada sektor jasa atau tersier (perdagangan, transportasi, keuangan, perbankan, pendidikan, kesehatan dan jasa lainnya), serta pola hubungannya antar individu dalam masyarakat dapat dikatakan lebih bersifat rasional, ekonomis dan individualistis.
Berbagai pakar sosiologi cukup banyak menguraikan analisis teoritik tentang defenisi kota. Grunfeld seorang pakar sosiolog berkebangsaan Belanda menggambarkan bahwa kota adalah suatu permukiman dengan jumlah kepadatan penduduk yang lebih besar, memiliki struktur mata pencaharian non-agraris dan tata guna tanah yang beraneka ragam serta ditemukan lokasi gedung yang berdiri tinggi dengan letak yang berdekatan.
JH.De Goode seorang ahli sosiolog perkotaan juga tidak jauh beda mendeskripsikan tentang kota. Analisis yang paling dominan ia uraikan mendeskripsikan ciri khas kota yaitu ; a) sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) dalam praktek ekonomi lebih dominan dan berperan besar, b) jumlah kepadatan penduduk relatif lebih besar, dan c) susunan populasi penduduk lebih heterogen.
Banyak sekali defenisi tentang kota yang dituliskan para pakar, tetapi konsep umum yang menjadi “kesepakatan” bahwa kota memiliki indikator tentang wilayah permukiman, tata ruang tanah, kepadatan populasi penduduk, perdagangan, lalu lintas dan transportasi, jasa keuangan dan perbankan, pendidikan, kesehatan, ekonomi industri, ekonomi non-agraris, telekomunikasi dan pola hubungan warga yang bersifat rasionalis, ekonomis dan individualistis.
Temuan Louis Wirth dalam penelitian catatan lapangannya (field notes) menjelaskan tentang kota ditemukan ;
Pertama, banyaknya relasi kota menyebabkan tidak memungkinkan terjadinya kontak-kontak yang lengkap di antara individu-individu. Di dalam masyarakat yang besar terjadi segmentasi hubungan-hubungan di antara manusia. Kalau jumlah relasi terlalu besar, maka orang hanya saling mengenal dalam satu peranannya saja; misalnya di antara pelayan toko dan pembeli, atau supir taksi dan penumpangnya, mereka tanpa perlu mengetahui sesuatu tentang keadaan keluarga masing-masing, atau pandangan hidup masing-masing pihak yang berhubungan itu.
Kedua, orang kota harus melindungi dirinya sendiri agar tidak terlalu banyak berhubungan yang bersifat pribadi dengan mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi terhadap waktu dan tenaga yang ada padanya. Ia juga harus menjaga diri terhadap potensi-potensi yang merugikan atau membahayakan dirinya pribadi dan keluarga, maupun kebudayaanya.
Ketiga, kebanyakan hubungan orang-orang kota digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu saja.
Keempat, orang kota memiliki sikap emansipasi atau kebebasan untuk menghindari dari pengawasan oleh kelompok kecil atas keinginan dan emosinya. Keadaan ini mengandung bahaya timbulnya semacam situasi anomi (keadaan yang kurang harmonis atau renggang dengan norma-norma yang dianut masyarakat).
Uraian ini bagi kota Medan cukup melekat dengan deskripsi tentang wajah perkotaan. Secara geografis kota Medan yang berada pada posisi 30 30’ – 30 43’ lintang utara dan 980 35’ – 980 44’ bujur timur berdasarkan sensus terakhir tahun 2005 mencapai  2.036.018 jiwa dengan kemajemukan budaya penduduknya seperti suku Melayu, Jawa, Batak, Mandailing, Tionghoa, Minang dan suku/etnis lainnya. Kondisi permukaan tanah cendrung miring ke utara yang tepatnya berada ketinggian 2,5 – 37,5 M di atas permukaan laut. Jumlah luas kota ini  265,10 km2 terdiri dari 151 kelurahan yang seluruhnya berada di wilayah 21 kecamatan yakni Tuntungan, Johor, Amplas, Denai, Area, Kota, Maimun, Polonia, Baru, Selayang, Sunggal, Helvetia, Petisah, Barat, Timur, Perjuangan, Tembung, Deli, Labuhan, Marelan dan Belawan. Menariknya lagi, kota ini juga dikelilingi 8 sungai yang melintasi kota yaitu Sungai Belawan, Sungai Badra, Sungai Sikambing, Sungai Pulih, Sungai Babura, Sungai Deli, Sungai Sulang-Saling dan Sungai Kera.
Pertumbuhan ekonomi kota Medan terbilang pesat, cukup banyak ditemukan berbagai gedung kokoh sebagai pusat bisnis, perkantoran, pendidikan, hiburan dan perhotelan (lihat Safwan Khayat, Tembakau Citra Popularitas Kota Medan di Mata Dunia, Harian Analisa, Medan, Rabu 26 Maret 2008, hal 28 & 32). Kebijakan pemerintah kota dalam mendorong tumbuhnya sektor kegiatan usaha mikro dan makro menstimulasi sejumlah kalangan investor untuk menanamkan permodalannya. Hal ini membuka peluang dunia usaha disamping tetap mempertahankan karakteristik kota Medan sebagai kota sejarah dan kebudayaan.
Pemerataan pembangunan tidak saja di seputar inti kota, tetapi juga telah merambah ke area lingkar luar inti kota yang dalam proses dinamika masyarakatnya telah bersentuhan langsung dengan masyarakat tetangga di luar kota Medan. Kondisi ini turut mendorong pemerintah kota memperbaiki infrastruktur yang ada dengan membuka seluruh jaringan akses yang dimiliki guna memudahkan penyebaran visi pembangunan khususnya dalam menambah dan meningkatkan taraf hidup warga. Berbagai bentuk kemudahan fasilitas, pelayanan administrasi pemerintahan dan bentuk-bentuk bantuan pemeerintah kota kepada warga dinilai positif sekalipun masih membutuhkan perbaikan kinerja yang lebih proporsional dan profesional.
Dengan jumlah kepadatan penduduk lebih dari 2 juta jiwa, pemerintah kota bersama unsur Muspida dan seluruh elemen warga kota mampu bekerjasama dan sama-sama bekerja menjaga dan mempertahankan kehidupan kota yang visionis, produktif dan agamais. Pemerintah kota Medan mampu merajut image terhadap warga kota dengan memberikan dorongan dan suggesti bahwa kota tidak akan mampu bergerak maju bila tidak dibangun kerangka bangunan yang silang dan saling bekerjasama. Kondisi menciptakan kepedulian yang seimbang sehingga memudahkan bagi pemerintah kota untuk menggerakkan potensi kota guna mewujudkan kehidupan perkotaan yang lebih sejahtera.
Disadari pula, gebrakan pembangunan pemerintah kota juga diperlukan beragam solusi pemikiran dan kinerja yang harus diperbaiki. Keadaan ini wajar untuk dicetuskan mengingat detik perdetik pertumbuhan kota yang kini telah menjadi kota Metropolis memerlukan perbaikan penataan yang lebih signifikan. Penataan kota tidak saja menata gerakan pembangunan fisik saja, tetapi jauh lebih terpenting dengan melakukan perbaikan sudut pandang dengan membuka cakrawala dialog melalui pendekatan perspektif kemanusiaan, budaya, politik, sosial-ekonomi, sejarah, idiologi pembangunan dan cita-cita kolektif warga. Ruang dialog ini harus lebih subur dan produktif antara pemerintah kota dengan warga kota khususnya hal-hal yang berkaitan dengan dinamika masalah perkotaan. Intensitas dialog juga dapat merajut keakraban, keserasian, jiwa besar, pemikiran holistik dan jernih dan sikap tanggungjawab. Lebih dari itu, intensitas dialog mempersempit gerak provokasi pihak ketiga dalam memecah belah keharmonisan pemerintah kota dengan warga sehingga menjauhi ruang konflik sosial.

Masalah Kota
Bila diindentifikasi permasalahan perkotaan yang krusial antara lain ; lahan pekerjaan dan kemiskinan, tata ruang tanah dan permukiman, jumlah kepadatan penduduk, kesehatan dan pendidikan. Tetapi yang tidak kalah pentingnya lagi, kota juga memiliki masalah yang teramat sulit dipecahkan yakni persoalan transportasi dan lalu lintas yang setiap hitungan detik pula terus berubah-ubah. Bertambahnya volume kendaraan tidak diimbangi dengan kondisi badan jalan yang terus menyempit sehingga tetap saja memiliki dampak sosial bagi kelancaran arus lalu lintas. Penyempitan badan jalan juga terasa tatkala tata aturan perpakiran yang kurang memperhatikan keadaan lapangan; parkir sembarangan; menurunkan dan menaikkan penumpang bukan tempatnya serta pemanfaatan badan jalan dan lahan trotoar yang terpakai untuk berdagang semakin melengkapi kesemrawutan lalu lintas kota. Akumulasi masalah kota inilah yang paling sering muncul bagi wajah perkotaan khususnya kota Medan.
Ada beberapa yang menjadi gagasan dalam tulisan ini sebagai bahan diskusi dalam menata kota ini menuju kota yang lebih manusiawi sehingga bernilai kekuatan peradaban yakni ;
Pertama, mengembangkan ruang akademik yang membawa warga secara psikososial membuka diri untuk berdialog dan bersosialisasi terbuka tanpa prasangka negatif. Ruang ini mewujudkan budaya tradisional bangsa kita yang penuh ramah tamah dengan sandaran etika demokrasi, budaya santun, saling menghargai dan merajut ketulusan guna membentuk kualitas fisik arsitektur kota yang menarik, tertib, religius dan beradab.
Kedua, memanfaatkan lahan tidur (kosong) inti kota dengan melakukan revitalisasi menjadi ruang terbuka (open space) sehingga berfungsi sebagai paru-paru kota, objek wisata inti kota dan sekaligus tempat aktifitas warga. Ruang kota menjadi lebih hidup, segar dan alami dengan kombinasi pembangunan fisik yang selaras dengan pembentukan karakteristik kegiatan warga yang manusiawi dan bermartabat. Tata ruang kota jangan terlalu mementingkan aspek pembangunan fisik kota saja, tetapi juga pula memperhatikan aspek pembangunan mentalitas kemanusiaan.
Ketiga, memanfaatkan trotoar hanya untuk pejalan kaki. Trotoar selama ini hanya dianggap sebagai acesories pelengkap jalan raya bagi kenderaan bermotor. Fokus pembangunan kota masih kurang memperhatikan kepentingan manusiawi bagi kenyamanan dan keselamatan pejalan kaki. Hampir tidak ada perencanaan dan perhitungan yang matang tentang pemanfaatan ruang trotoar ini. Semakin padatnya jumlah kenderaan bermotor tidak lagi menyisakan kepentingan jalur pejalan kaki dan jalur hijau. Pembangunan sarana jalan lebih banyak berpihak pada kepentingan kenderaan bermotor, padahal kota dapat menjadi hidup bila pembangunan harus berlandasan tolak ukur kemanusiaan. Perlu kita pertimbangkan secara serius bahwa sarana jalan untuk pejalan kaki adalah juga memperhatikan dan menghormati sisi kemanusiaan bagi pejalan kaki (yang tidak menggunakan atau memiliki kendaraan bermotor). Bila perlu, pemerintah kota membuat perdanya dengan membuat sanksi hukum yang tegas bagi siapa saja yang menggunakan trotoar yang tidak sesuai peruntukkannya. Atas dasar ini pula, pihak terkait dapat mengambil sikap agar pejalan kaki yang menggunakan trotoar tercipta rasa aman secara fisik yakni dapat berjalan dengan tenang tanpa merasa terganggu, dan rasa aman secara psikologis yakni tidak merasa khawatir atau takut karena telah difasilitasi oleh sarana penerang lampu (bila berjalan di malam hari) dan teduh bila di siang hari. Hal ini perlu diperhatikan kondisi trotoar bebas dari pedagang kaki lima dan sarana fisik umum yang dibangun diatas trotoar.
Keempat, menertibkan pedagang musiman dan pedagang kaki lima dengan membuka fasilitas infrastruktur yang mendukung dan layak buat mereka menjalankan usahanya. Biasanya pula para pedagang kecil ini sering memfungsikan fasilitas umum untuk kepentingan usahanya. Perilaku pedagang ini bukan saja mengganggu kenyamana pejalan kaki dan kenderaan bermotor, tetapi juga berdampak luas terjadinya kerawanan dan kemacetan lalu lintas jalan raya. Ruang sirkulasi pejalan kaki dan kenderaan bermotor menjadi menyempit bahkan bagi pedagang tertentu justru meninggalkan ruang kota menjadi tidak indah, kumuh dan berbau. Penertiban ini juga harus tegas dengan dasar keputusan tindakan yang lebih melihat aspek kepentingan manusiawi secara komprehensif.
Kelima, membuka jalan lingkar kota Medan guna mengantisipasi kesemrawutan jalan akibat pertumbuhan volume kendaraan yang tidak sebanding dengan panjang jalan. Jalan lingkar kota dapat mengurangi jumlah kenderaan yang bertonase besar seperti bus, truck yang hanya melintasi kota sekedar numpang lewat saja. Melintasnya kendaraan bertonase besar di dalam kota sangat mengganggu kelancaran aktifitas warga dalam berkendaraan dan membuat pengemudi menjadi stress, sesak nafas, memerihkan mata dan mengeluarkan suara gaduh.
Keenam, menjaga dan melestarikan arsitektur bangunan yang bernilai budaya dan sejarah. Walau terpacu dengan dengan gaya pembangunan fisik modrenitas, karya seni bangunan budaya dan bersejarah diharapkan tetap terjaga agar keutuhan fisik tetap terwarisi bagi generasi mendatang. Selain itu, pelestarian ini juga menjadi bagian dari situs sejarah yang tidak bisa kita abaikan, apalagi bagi bangunan yang ada telah memiliki usia puluhan dan ratusan tahun. Sekalipun termakan umur yang cukup renta dengan kondisi bangunan yang sedikit mengkhawatirkan daya tahannya, renovasi bangunan yang dilakukan hendaknya tetap mengikuti bentuk aslinya sekalipun komponen materialnya telah diremajakan. Bagi kawasan atau bangunan lama yang kurang tidak termanfaatkan dapat diupayakan melalui revitalisasi dan rekonstruksi fisik dengan pengalihfungsian yang strategis guna mendukung pertumbuhan budaya, sosial dan ekonomi kota. Mungkin kita bisa meniru Singapura melakukan pelestarian kawasan dan bangunan lama dengan pola modrenisasi kota sehingga mendatangkan kegiatan dan keuntungan sektor pariwisata.
Sekedar berilustrasi, mewujudkan kecantikan diri bukan sekedar merias atau memoles wajah dengan sejumlah alat kosmetik yang serba lengkap, mahal dan import. Kecantikan abadi adalah merias wajah hati yang tumbuh dari dalam dengan membuka diri berkomunikasi, berjiwa besar, berfikiran jernih, menjauhi prasangka, gemar menghargai dan tulus berteman. Begitu pula merias kota ini tidak cukup dengan tampilan lahiriah dengan membangun seluruh sarana fisik, tetapi membangun sara fisikis dengan berdialog secara intesif agar kita dapat lebih serius menata Medan kota peradaban. Amiin yaa rabbal alamin..!!

Pemulung Juga Punya Cita-Cita

Oleh,
Drs SAFWAN KHAYAT MHum

Siang itu, sinar surya terasa terik menyengat di kulit kota Medan. Berisiknya deru mesin, hiruk pikuk dan hilir mudiknya ikut menambah panas kelat-pekatnya suhu udara. Diperkirakan suhu udara saat itu menembus 350celcius. Padahal, satu jam yang lalu, hujan deras menyapa dan membasahi seluruh tanah kota ini. Masih terlihat bias hujan pada air sungai yang keruh berwarna kecoklatan. Masih tersisa kubangan air di jalanan yang berlobang akibat derasnya siraman hujan. Sungguh Tuhan Maha Adil atas seluruh ciptaan-Nya. Tuhan curahkan hujan agar alam berserta isinya tumbuh subur, segar dan berseri, lalu Tuhan lengkapi cahaya Matahari yang hidup memberi inspirasi.
Ketika hujan turun, pori-pori bumi kota Medan terucap kata syukur. Tatkala Matahari menyapa, seketika itu denyut jantung kota berdetak kencang. Panas terik menyengat kulit, tak urung niat bekerja di tengah terik walau situasi ekonomi sulit. Teriknya Matahari mengiris kulit, tak melemahkan diri memacu langkah untuk hidup berarti. Begitulah kalau niat sudah terpatri, hujan badai dan panas terik tak menghalangi obsesi diri.
Siang itu pula, seorang pemulung tua berjalan di atas kaki lemahnya menghampiri setiap onggokan sampah. Onggokan sampah ia kais mencari sesuatu jenis barang bekas yang bisa dijadikan uang buat sesuap nasi. Tak perduli di dalam tong sampah atau di parit (selokan). Tak perduli di hina, asalkan tidak mendapatkan rezeki dengan cara yang hina. Tak perduli bekerja tertekan, daripada bekerja menekan. Pak tua itu menyadari hinanya profesi, tapi berkahnya rezeki. Sesuap nasi bersih tak tercemari dari satu rupiah-pun hasil korupsi. Sesuap nasi menjadi darah daging tanpa cara menyakiti. Sesuap nasi berkah rezeki dan bersih di hati. Begitulah filosofi hidup pak tua si pemulung kota ini.
Tubuh kurusnya dibawa tanpa arah di atas kedua kaki kecil bersendal jepit. Sorot dua bola mata tajam seakan tak berkedip mengamati setiap jenis barang yang dituju. Rambut dan jenggot penuh uban, jelas menunjukkan betapa renta dirinya. Pak tua itu berkemeja biru corak garis putih dan bercelana panjang sejengkal dibawah lutut. Penampilan sedikit kumuh memikul satu buah kantong plastik dijadikan sebagai tempat pengumpul barang bekas, dan satu bundelan gulungan kain─sepertinya untuk pakaian pengganti.
Satu persatu ia kumpulkan barang bekas di jalanan. Ia raih, lalu ia masukkan ke kantong plastik itu. Ia pungut, lalu tersingkap senyum harap. Ia kumpulkan, lalu terbesit harapan semoga rezeki dapat.
Pak tua tak perduli dengan ancaman kesehatan, sebab dia merasa sehat. Padahal, satu pungutan, diikuti dua bunyi batukan dan dengusan tarikan nafas sesak. Tak punya uang untuk berobat, sebab mencari nasi sesuap perjuangan hidup terkadang nekad. Ia tak tahu, kalau pemerintah punya program berobat gratis. Ia pun tak tahu, kalau pemerintah sudah punya visi tentang rakyat tak sakit, tak lapar, tak bodoh dan punya masa depan. Maklumlah, baca koran tak sempat, mau nonton TV tak punya sahabat. Mungkin fikiran singkatnya terlintas, aku ini sudah sakit, kelaparan, bodoh dan tak punya lagi masa depan, gumam bathinnya. Kalau begitu, mungkin aku bukan rakyat, tetapi rayap berkumpul di tengah rakyat, sangkanya lagi. Begitulah bisik hatinya yang terlalu naïf, singkat, riskan, labil, apatis,
Ia tak tahu kalau calon DPR-nya sudah terpilih. Mungkin ia tak ikut memilih. Andaikan ia datang ke TPS, bukan mau beri suara nurani, tapi mau dikasihani. Bukan mau mencontreng, tapi di usir karena dianggap Gepeng (gelandangan pengemis).
Ia juga tak tahu dan mungkin tak perduli, saat ini orang sibuk membahas calon Presiden. Seorang calon Presiden yang bisa membuka lapangan pekerjaan, sembako selalu murah, BBM terjangkau, keamanan terkendali dan tak payah cari makan (isitilah anak Medan). Setiap hari koran nasional dan lokal membahas calon Presiden. Televisi ikutan pula meramaikan bursa. Padahal, Presiden RI sudah yang ke-lima (Suharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono), akan memilih yang ke-enam. Pak tua itu tetap saja pemulung. Yah ! Tetap pemulung.
Langkah kaki tak pasti dijejaki tanpa tujuan tempat, tapi yang ada di mana ada barang bekas disitulah ia berhenti. Pak tua itu terus berjalan dan terus melangkah. Enam belas (16) tahun ia tekuni sebagai pemulung. Artinya, 3 periodesasi Walikota, Gubernur dan Presiden RI telah berlalu, ia tetap pemulung. Selama 16 tahun pula, beribu bahkan berjuta ton barang bekas yang menjadi sampah ia kumpulkan menjadi komoditi uang. Selama itu pula ia temui hinaan, cacian, makian dan sumpah serapah atas profesi pemulung yang rendah dan tak bermartabat. Namun, pak tua tetap pemulung.
Bila Matahari pergi, tibalah Bulan secara bergantian menjalankan tugasnya. Pak tua mencari lokasi untuk melepaskan kelelahan. Tak perduli bersih, kumuh, gelap atau terang. Semua itu hanyalah momentum saja bagi dirinya. Asalkan lokasi itu teduh terbebas dari hujan, pastilah ia singgahi.
Suatu hari, pukul 21.00 WIB (malam), pak tua berhenti di sebuah bangunan tua yang letaknya di inti kota. Beberapa orang sudah mengambil tempat sebagai sandaran melepas lelah di malam itu. Di sudut bangunan terlihat ada 3 orang Gepeng sudah lebih dahulu tidur dengan beralaskan lantai dan selimut koran. Di tengah ada ibu tua yang sedang mengemas barangnya dengan karton kecil, rupanya ibu itu pemulung juga. Di dinding sebelah ada tiang pilar besar penyanggah bangunan ada seorang lelaki separuh baya duduk termenung sendiri. Sesekali ia menangis, tertawa dan bernyanyi. Lagunya beraliran corak dangdut. Pak tua pasang kuping lagu siapa yang dinyayikan lelaki itu. Ternyata lagu itu pernah kondang dinyayikan Mansyur S berjudul Pagar Makan Tanaman. Pak tua mencoba mendekat lelaki itu, ternyata seorang yang sedang terganggu jiwanya. Oh..!! wong gilo …! Bisik hati pak tua.
Ia lihat di sudut kiri masih kosong, belum ada seorang tuan yang menguasai tempat itu. Ia pun bergegas sambil menenteng barang bawaannya. Lalu ia sapu kotoran kecil di lantai itu dengan tangan keriputnya. Sedikit bersih memang, pak tua langsung merebahkan tubuh kurusnya.
Mata mulai sayu, badan terasa pegal dan kantuknya pun tak tertahankan. Detik per detik pak tua terkantuk-kantuk. Tiba-tiba, segerombolan anak funk dengan memegang alat musik gitar duduk di sebelah pak tua. Mereka berisik sekali. Tertawa, bernyanyi dan aneh saja tingkahnya. Pak tua merasa terganggu. Sontak saja ia tegur anak funk tadi.
Hai..! sudahlah, jangan berisik, aku mau tidur ? bentaknya. Dasar anak funk, mereka tak hiraukan pemulung tua itu. Pak tua bangkit disambut dengan empat kali dentuman batuk keringnya. Kalian nich, gak lihat orang lagi tidur ? kesalnya. Tidur sajalah pak, sudah tua cerewet ? balas mereka. Yang jawab tadi seorang gadis berkisar usia 16 tahun di dalam kelompok funk itu. Hanya ia sendiri saja gadis, 3 orang teman lainnya lelaki.
Pak tua itu pun mengoceh bagaikan seorang da’i kondang berceramah di layar televisi nasional. Kalian masih muda, manfaatkanlah waktu muda ini dengan kegiatan yang bermanfaat. Jangan sia-siakan waktu ini terbuang percuma. Nanti kalian menyesal, seperti aku yang tak punya masa depan, kata pemulung itu.
Kasihanilah diri kalian, karena kalau sudah tua takkan ada yang mengasihani diri kalian. Contohnya aku si tua tak berguna, sedihnya. Andai bisa ku putar waktu ke belakang, aku merubah cara hidup ku. Nak..! coba kalian fikirkan, harapnya
Gadis funk tersentuh hatinya. Wah, pak tua ini boleh juga ? sapa bathinnya. Keluarga bapak dimana ? tanya gadis itu. Aku sudah terbuang dari keluarga yang mencntai ku, jawab pak tua. Di masa muda aku suka bolos sekolah, mabuk-mabukan, narkoba dan entahlah, sesal bathinnya. Nak, janganlah buang waktu mu hanya demi kepuasan hati mu. Pemulung pun punya cita-cita, agar pemuda jangan seperti aku, terangnya.
Empat anak funk itu terdiam. Entah apa yang mereka fikirkan. Anak funk itupun tak lagi berisik lalu mengamil posisi tidur di samping pemulung tua. Pak tua pun ikut tidur sambil berkata, Pemulung juga punya cita-cita.

*Penulis, Alumnus SMA Negeri-1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pasca Sarjana USU Medan. Website; http://safwankhayat.blogspot.com Email; safwankhayat@yahoo.com.

Terperangkap Lobang, Penjual Koran itu Buta

Oleh,
Drs SAFWAN KHAYAT MHum
Pagi itu pukul 6.00 WIB udara masih terasa dingin. Di tengah malam yang sepi kota Medan di guyur hujan sangat deras diiringi angin kencang dan hingar bingarnya suara halilintar. Hujan turun berkisar 2 jam, tapi seluruh jalanan di beberapa ruas jalan sudah digenangi air, nyaris 1 jengkal di bawah lutut. Walau udara terasa dingin, sinaran surya perlahan mulai menyembulkan hawa hangat. Alam kembali berseri setelah melewati nikmatnya siraman hujan anugrah Ilahi.
Pagi itu, aktifitas penduduk kota Medan mulai bangkit dari tidur lelap yang panjang tadi malam. Sisa-sisa guyuran hujan seperti genangan air masih terlihat di beberapa badan jalan dan lorong gang. Warna sungai berubah warna keruh kecoklatan. Tumpukan sampah menjadi biasa ditemui tatkala hujan membasahi kota Medan .
Bang Hamzah seorang lover koran sudah keliling ke sana ke mari menjajaki dagangan koran pagi itu. Profesi ini sudah ia geluti selama 13 tahun. Langganannya terus bertambah, ada yang di antar ke kantor, ke rumah, ke toko dan ke warung. Tak jarang pula, di tengah jalan beliau juga sering mendapatkan pembeli langsung sehingga laris-lah dagangan korannya.
Jika Koran habis terjual, bang Hamzah punya kios kecil yang berisikan dagangan rokok, minuman cepat saji dan sedikit jajanan anak-anak. Walau hasilnya pas-pasan, cukuplah untuk biaya hidup dan sekolah anaknya.
Tepat pukul 07.15 WIB, biasanya dagangan korannya sudah habis. Ia harus kembali ke rumah lalu mengantarkan anak semata wayangnya ke sekolah. Anaknya duduk di kelas 3 SD Swasta yang letaknya agak jauh dari rumahnya.
Andika nama anak bang Hamzah. Gadis beliau yang manis berusia 8 tahun 5 bulan. Andai bang Hamzah mengantar Andika dan menjemput ke sekolah, isterinya Halimah membuka kios kecil mereka. Jika bang Hamzah balik ke rumah, maka beliau yang menjaga kios kecil itu, sedangkan Halimah mengurusi rumah tangga. Begitulah setiap hari aktifitas bang Hamzah.
Mungkin doanya dan keluarga, pagi itu bang Hamzah mendapat pesanan koran di luar kebiasaan. 350 eksemplar biasanya habis terjual, tapi kali ini ia mendapat pesanan 800 eks. Tentu saja, sejumlah itu tak bisa ia bawa satu kali jalan. Ia habisi dulu 350 eks, lalu ia balik menjemput sejumlah sisa koran ke tempat pengambilan yang berbeda-beda lokasinya.
Karena banyaknya pesanan, ia sedikit terlambat pulang ke rumah untuk mengantar Andika ke sekolah. Tapi isteri dan anaknya sudah tahu kalau ia sedikit terlambat dari waktu biasanya. Sebab tadi malam. Bang Hamzah sudah mengkhabarkan bahwa besok banyak pesanan koran yang harus diantarkan ke beberapa lokasi.
Koran tinggal 10 eks lagi. Kebetulan saja, sejumlah itu hanya di antar pada satu kantor yang memesan 10 eks. Bang Hamzah melihat jam tangannya masih pukul 7.00 WIB. Hatinya berkata, ah masih ada waktu ..!! Dalam tempo 10 menit ia sudah tiba di kantor yang di tuju. Ia langsung menemui bagian keuangan untuk mengambil uang koran sekaligus menyerahkan 10 eks koran pesanan.
Ketika uang diserahkan, kepala bagian keuangan itu bertanya; apakah ada diskon kalau kami ambil jumlah yang lebih besar ? Bisa..! jawab bang Hamzah.
Kebetulan anak perusahaan itu ada 10 unit, masing-masing unit rencananya mau berlangganan 20 eks. Berarti perusahaan itu akan menambah pesanannya menjadi 200 eks setiap hari. Tentu saja bang Hamzah spontan setuju, syukurlah menambah hasil pendapatan bulanan berikutnya. Setelah harga disepakati, beliau langsung pulang.
Betapa senangnya ia hari ini. Ia berniat jika tiba di rumah akan menceritakan pekerjaannya ini kepada isteri dan anak. Beliau pun lirik jam tangannya, astaga sudah pukul 7.35 WIB..! kagetnya. Bang Hamzah memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi, karena Andika masuk sekolah pukul 7.50 WIB. Karena tak ingin Andika terlambat, ia pun tancap gas.
Luar biasa..!! ia tiba di rumah hanya dalam hitungan 7 menit saja. Padahal, waktu yang normal dalam perjalanan sewajarnya 15 menit. Berarti, Andika punya waktu 8 menit lagi agar tidak terlambat sekolah.
Bang Hamzah masih memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Jika ia terlambat sedikit saja, maka Andika tidak bisa masuk sekolah hari ini. Sebab, peraturan sekolah, tepat pukul 7.50 WIB pintu gerbang sekolah di tutup dan tidak ada yang bisa masuk sekolah andaikan terlambat.
Sepeda motor melaju cepat di luar batas kebiasaan pula. Hujan yang deras malam tadi masih menggenangi jalan yang di laluinya. Ia terobos saja genangan air itu walau sedikit masalah berlobang terkuak di jalanan. Andika sampai terlompat-lompat diboncengan. Andika terus memegang erat pinggul ayahnya. Sesekali bang Hamzah berkata; pegang ayah yang kuat nak ? sahut bang Hamzah. Karena kecepatan tinggi dan kondisi jalan berlobang, bang Hamzah tak kuasa menghindari lobang yang terkuak lebar di depannya. Rrraakk !!! dresss..!! suara yang keras dampak dari terpentalnya Hamzah dan Andika dari sepeda motor mereka. Bang Hamzah tertimpa sepeda motor, Andika tercampak 2 meter dari ayahnya.
Spontan warga yang menyaksikan menolong bang Hamzah dan Andika. Kelihatannya bang Hamzah mengalami luka berat di kepala yang darah mengucur deras. Andika sendiri patah tangan kirinya dan kakinya kanannya luka berdarah. Mereka langsung dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis. Isterinya Halimah hanya bisa pasrah melihat dua insan yang dikasihinya. Ia berdoa semoga kedua belahan hatinya nyawanya dapat diselamatkan.
Syukurlah, bang Hamzah dan Andika nyawanya selamat. Si tukang lopper Koran itu matanya buta dan kakinya harus di amputasi. Sementara Andika hanya patah tangan yang tidak terlalu serius. Andika begitu terpukul jiwanya karena peristiwa itu. Ayahnya harus menjadi buta dan berkaki satu karena lobang di jalanan.
Andika hanya bisa menelan perasaan tanpa bisa menuntut siapa pun. Sekolahnya dan masa depan terancam karena ayah buta karena kecelakaan akibat lobang di jalanan. Sambil memeluk Andika, bang Hamzah berkata; maafkan ayah nak ? Ayah lakukan itu semuanya untuk mu ? Tak ada niat ayah mengendarai secepat itu ? Ayah takut Andika terlambat ?
Isterinya Halimah dan anaknya Andika hanya bisa menangis. Mengapa berat sekali cobaan ini? Abang buta, Andika patah tangan ? urai Halimah berderai air mata......
Andika menatap ibunya dan berkata; mak, sabar ya mak ? Ayah buta karena lobang di jalan itu ? Tapi lebih buta orang yang membuat dan sengaja membiarkan lobang itu ? Tuhan pasti membalasnya, gerai Andika.

*Penulis* Alumnus SMA Negeri 1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pasca Sarjana USU Medan. Web: http://safwankhayat.blogspot.com. Email; safwankhayat@yahoo.com

Tuhan pun Menyuruh Memilih !!

(Pendekatan Paradigma Al Qur’an Tentang Pilkada)
Drs Safwan Khayat M.Hum


Katakanlah ; Akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang melakukan perbuatan yang sia-sia
dalam kehidupan ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka
telah berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al Kahfi 103-104)


Sebelumnya penulis mengajak kita semua untuk membuka ruang diskusi ke arah yang lebih substantif bahwa manusia diutus di muka bumi di daulat menjadi pemimpin (khalifah). Al Qur’an (baca Al Baqarah 30-39) menerangkan bahwa kepemimpinan manusia di muka bumi melalui simbolistik figuritas Nabi Adam memiliki psikososial yang paling tepat dalam mengemban amanat kepemimpinan. Diciptakannya gunung, laut, sungai, pohon dan seluruh isi alam jagat raya ini guna mengatur irama sujud melalui manajerial kepemiminan tidak mampu diembannya dengan sempurna. Dijadikannya hewan dan makhluk bangsa Jin dalam mengatur lintasan dinamika waktu yang telah dibentangkan Tuhan, ternyata manusia jauh lebih berkemampuan untuk menjalankan tugas kekhalifahan di muka bumi. Dasar ini pula menjadi deskripsi sosial bahwa setiap pemimpin (khalifah) ada yang memilih dan ada pula yang dipilih agar tercipta suatu keteraturan dalam menjalankan sistem kepemimpinan.
Di dalam sistem kepemimpinan tentulah dibangun suatu struktur organisasi atau pemerintahan yang biasanya dipimpin oleh seorang pimpinan atau kepala. Agar tidak keluar meluas dari target diskusi kita, konteks tulisan ini hanya menyentuh substansi manusia agar tidak sia-sia dalam menjalankan amanat-Nya bahwa Tuhan pun menyuruh memilih seorang pemimpin. Tentu saja tulisan ini mencari korelasi atas sebuah agenda politik terhadap pemilihan pimpinan pemerintahan (Kepala Daerah/Wakil) yang saat ini sedang berjalan di beberapa daerah, khususnya Sumatera Utara.
Di awal tulisan ini, penulis sengaja menampilkan Kalam Ilahi yang menjelaskan bahwa perilaku merugi adalah perbuatan yang sia-sia yang pernah dilakukan dalam kehidupan sosial. Bahkan yang lebih meruginya lagi, seseorang merasakan perbuatannya telah bertindak benar, padahal perbuatannya justru membohongi diri, keluarga dan orang lain. Bisa jadi dirinya berbuat pada kepentingan yang semu tidak menyentuh kemaslahatan, kebenaran dan keadilan. Sebagai warga apakah kita sia-siakan kesempatan dan potensi diri untuk melepaskan keadaan yang sepatutnya kita sendiri yang menentukan (berhak) ? Sebagai pemimpin adakah telah kita perbuat sebuah kebijakan dan peraturan yang tidak menyiakan rakyat ? Sebagai calon pemimpin mendatang betulkah niat diri memimpin daerahnya hanya bukan karena perilaku yang sia-sia saja ?
Bayangkan, berapa banyak waktu, fikiran, harta dan tenaga yang dikeluarkan untuk meraih jabatan pimpinan bila hanya untuk perbuatan yang sia-sia ? Berapa lagi keseluruhan yang telah dikeluarkan tadi harus tergantikan demi menjaga perbuatan sia-sia tersebut ? Sungguh suatu kenistaan bila ditemukan kesia-siaan perilaku itu menjadi “terlembaga” bila kita tidak menyadari, sementara mereka merasa perbuatannya itu benar.
Dalam Surat Al Ashr ayat 1-3 Allah SWT bersumpah ;
“Demi Masa. Sesungguhnya semua manusia tetap berada dalam kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman dan selalu melakukan perbuatan yang tidak sia-sia lagi baik, selalu memberikan saran (nasehat) yang konstruktif (benar-membangun), dan selalu pula memberikan saran (nasehat) yang bernafas keagamaan (kesabaran)”

Sumpah Allah SWT ini adalah Sumpah Yang Maha Paling Benar, suatu sumpah di atas sumpah yang tidak ada lagi tertinggi selain Sumpah yang disampaikan melalui pesan ayat tersebut. Jaminan yang Allah berikan dari tafsir ayat di atas terkandung 3 (tiga) makna penting bahwa manusia yang beruntung di sisi Allah adalah; 1) melakukan perbuatan yang tidak sia-sia (diri, keluarga dan orang lain), 2) selalu memberikan saran yang konstruktif, dan 3) selalu memberikan saran yang bernafas keagamaan.

Islam Harus Memilih
Mungkin sebagian orang menilai, tidak menyalurkan pilihan terhadap salah satu kandidat adalah juga bagian dari sikap pilihan politiknya. Walaupun sebagian lain tetap bertahan bahwa memilih dengan tidak memilih adalah dualisme sikap diri yang ambiguitas (berlawanan) yang nilainya pasti berbeda. Sebagai umat Islam yang meyakini bahwa Al Qur’an sebagai pedoman hidup (way of life) yang berisikan firman Tuhan dengan penuh kebenaran, maka sepatutnyalah kita harus meneladaninya sebagai doktrin perintah Allah SWT.
Dasar pertama mengapa umat Islam harus memilih adalah rujukan Surat Al Baqarah ayat 30 yaitu :
“Sesungguhnya Aku menjadikan umat manusia (Islam) sebagai seorang pemimpin (khalifah) di muka bumi”.

Rujukan ayat ini menjadi dasar bagi umat manusia (khususnya Islam) dijadikan sebagai pemimpin dan harus tampil sebagai pemimpin. Terkait dengan diskusi kita yang telah penulis batasi, konteks tulisan ini menelaah paradigma Al Qur’an tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bahwa Tuhan pun menyuruh umat Islam untuk menentukan pilihannya.
Paradigma Al Qur’an mendeskripsikan bahwa umat Islam harus menentukan sikap politiknya dalam menyampaikan amanat kepemimpinan kepada seseorang. Allah melalui Al Qur’an menyuruh umat Islam agar segera menyampaikan amanatnya (memilih pemimpin) kepada orang yang berhak menerima amanat itu.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu (umat Islam) menyampaikan amanat (sikap politik) kepada figur yang berhak menerimanya (calon pimpinan), dan tetapkanlah pilihan mu itu dengan ketetapan hukum yang adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An Nisaa’ 58).

Perintah Tuhan menyuruh umat Islam untuk memilih adalah perintah yang tidak bisa ditawar lagi. Bagi siapa saja yang mengekang atau meniadakan perintah Allah sebagaimana yang kita yakini sama halnya kita telah mengingkari-Nya.
Dalam ayat lain Allah juga menyerukan kepada kita agar mempersiapkan diri untuk tampil mengarungi bahtera perpolitikan guna mempertahankan eksistensi dan marwah Islam khususnya memimpin pemerintahan.
“Duhai orang yang beriman, bersiap siagalah selalu kamu dalam setiap waktu, dan majulah ke pentas pertarungan (raih kepemimpinan) dengan kekuatan yang berkelompok atau majulah bersama-sama. Sesungguhnya di antara kamu ada orang yang keberatan untuk mendukung perjuangan mu. Jika kamu mengalami kekalahan (musibah) mereka berkata : Tuhan berada dipihak ku, karena aku tidak ikut mendukung mu. (QS. An Nisaa’ 71-72).

Fenomena ayat ini telah pula menjadi tampilan sosial bahwa tetap saja sikap politik dalam memilih atau tidak memilih menjadi diskursus sosial. Tetapi sebagai komunitas Islam yang meyakini Al Qur’an bahwa Tuhan pun menyuruh memilih selalu terjaga jika perilaku politik tetap dalam kerangka (framework) perbuatan tidak sia-sia secara komprehensif dan selalu berpegang teguh pada jalan Allah dengan memberikan saran (nasehat) yang konstruktif dan saran (nasehat) yang bernafas keagamaan. (QS.Al Ashr 1-3).
Jika kita tidak menentukan sikap pilihan kepada seorang kandidat, sekalipun telah terjadi keraguan, kegalauan dan mungkin kekhawatiran atas calon pilihan kita, penulis berkeyakinan bahwa hak-hak kita sebagaimana yang perintah Allah dalam surat An Nisaa’ 58 telah sia-sia. Lantas bagaimana sikap kita dalam memilih jika tidak sia-sia dalam menentukan hak tersebut, Al Qur’an mengajarkan kepada kita pilihlah yang Amanah dan Adil. Amanah dan adil yang dimaksud adalah amanah dan adil dalam bertindak, melahirkan keputusan dan berbicara.
“Dan janganlah sekalipun kebencianmu terhadap suatu kelompok yang akhirnya mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan Taqwa” (QS. Al Maaidah 8).

Penutup
Pilkada sebagai sebuah fenomenum telah banyak menghabiskan energi cukup besar. Bukan saja energi material yang kelihatan dalam setiap peristiwa politik, tetapi juga telah mengeluarkan energi kemanusiaan yang sesungguhnya telah dimaktub di dalam Al Qur’an. Pilkada mampu menembus kekuatan demokrasi yang didambakan manusia, tetapi Pilkada juga mampu meluluhlantakkan bangunan ukhuwah sosial. Oleh karenanya, hasil Pilkada dalam paradigma Al Qur’an hendaklah dipatuhi sebagaimana perintah Allah dalam surat An Nisaa’ 59 ;
“Hai orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul(Nya) dan pemimpin di antara kamu. Jika kamu berselisih pendapat (visi) tentang sesuatu (konsep/arah kebijakan pembangunan daerah), maka cobalah rujuk Al Qur’an (Allah) dan Sunnah (Rasul). Jika kamu meyakini agama mu (beriman), sikap seperti itu lebih baik manfaat dan akibatnya”

Artifisialis dari paradigma ayat ini mengajarkan sebuah pesan bahwa ajaran Islam menghargai perbedaan, menjauhi permusuhan yang menjurus kerusuhan sosial dan menjunjung tinggi emosi rasionalitas dengan merujuk dasar-dasar keagamaan manusia yang meyakini mengambil manfaat daripada akibat. Mudah-mudahan Pilkada di Sumatera Utara berjalan dengan santun, tertib, religius dan beradab. Semoga...!!

Kembalikan Sungai Deli Ku !

Oleh:
Drs SAFWAN KHAYAT M.Hum


Di tengah malam yang hening, sepi, dingin ber-embun, nyaris tanpa suara hingar bingar hilir mudiknya orang-orang dan kenderaan. Tak ada langkah, tak ada kata, yang ada hanyalah dengusan nafas lelapnya tidur warga setelah lalui deru dinamika kehidupan kota Medan . Tetapi di malam itu, si ibu yang tua renta telah sujud kusyuk menghambakan dirinya kepada Ilahi. Masih terlihat butir-butir air wudhuk yang membasahi wajahnya. Dengan harap cemas, si ibu menengadahkan tangannya untuk memohon keampunan dan ridho Ilahi. Satu kalimat si ibu sisipkan dalam doanya ; “Ya Tuhan, beri aku kemudahan membimbing anak-anak ku, dan beri aku kemurahan rezeki agar aku dapat menafkahi anak-anak ku”.
Begitulah bertahun-tahun si ibu bermunajat di tengah malam gelap gulita. Sebab, bertahun-tahun pula ia menjanda, di tinggal suami tercinta yang telah diberpulang ke pangkuan Ilahi. Ia bina keluarga dengan caranya sendiri, dan ia nafkahi keluarga dengan tangannya sendiri. Di depan pusara yang berdiri bisu di atas maqam almarhum suaminya, ibu berjanji akan melanjutkan cita-cita almarhum terhadap ke-tujuh anaknya.
Biarlah si ibu tak makan, asalkan anak-anaknya makan. Biarlah air mata ini kering, demi kebahagiaan anak-anaknya. Si ibu tak ingin anak-anaknya malu hanya karena keterbatasan dirinya. Dorongan itulah yang sering melintas dibenaknya.
Tubuhnya yang renta masih tersimpan sisa-sisa tenaga. Kulitnya yang keriput masih tersingkap cahaya kecantikan wajahnya. Tangannya yang mulai gemetaran, tak mengurangi sentuhan tangan belaian kasih sayangnya. Semua itu bagaikan butiran kaca kristal yang tak pernah pudar walau diterpa panas dan hujan. Syukurlah, jerih payah si ibu mampu menamatkan sekolah anak-anaknya, bahkan hingga keperguruan tinggi. Sungguh mulia hati si ibu.
Suatu ketika si ibu bercerita pada anaknya tentang kenangan dengan almarhum suaminya (ayah dari ke-tujuh anaknya). Betapa ia mencintai dan menghormati suaminya. Dengan penuh tanggungjawab, suami memanjakannya. Bukan saja urusan nafkah lahir bathin, tetapi juga sampai urusan mencuci.
Di belakang rumahnya, aliran sungai Deli terasa sejuk membasahi pori-pori bumi. Di sungai itulah penuh kenangan indah. Warga kota Medan kebanyakan memanfaatkan sungai Deli salah satu sumber kehidupan. Di mulai dari mencuci pakaian, membersihkan perabotan rumah tangga dan mandi. Ada pula memanfaatkan sungai Deli sebagai sumber nafkah lahan pekerjaan seperti menjala ikan dan menggali pasir yang tersimpan di dasar sungai. Di sekitar sungai Deli tumbuh subur rimbunnya tanaman pohon pisang, lalang dan jenis tumbuhan lainnya memberi manfaat bagi warga sekitar.
Fungsi lainnya, sungai deli juga selalu dijadikan lokasi bermain, rekreasi dan hiburan. Berbagai acara hari khusus, selalu memanfaatkan sungai deli dengan beragam perlombaan. Di mulai dari lomba renang, lomba memancing ikan, lomba kayuh sampan, lomba rakit dari batang pisang,bermain bola pasir dan lainnya.
Bagi anak-anak dan remaja, sering memanfaatkan sungai Deli sambil mandi beranyut bersama-sama dengan menggunakan sebuah ban dalam mobil atau batang pohon pisang yang dijadikan rakit. Tak heran pula, ada sekumpulan anak-anak dan remaja meloncat dari lokasi yang tinggi, terjun bebas hingga menembus aliran sungai yang bersahabat. Tak terlintas bahaya mengintai, sebab tak sedikit pula menelan korban jiwa, tetapi semuanya larut dalam kegembiraan bersahabat dengan sungai Deli.
Si ibu tak mampu menutupi kesedihan ketika beliau menyinggung kenangan bersama almarhum suaminya. Sesekali tersenyum walau butiran air matanya menetes tanpa disadari. Sungai Deli adalah kenangan terindah baginya. Mereka lalui bersama menjalani hidup tanpa melupakan jasa sungai Deli. Bersama suaminya, si ibu mencuci pakaian sambil melihat anak-anaknya mandi kegirangan. Sesekali pula, si ibu menyapa anaknya dengan lembut ; “mandinya jangan jauh dari ibu, jangan mandi ke tengah ya nak ?” Tapi si anak dasar nakal, terus asyik mandi sambil bermain siram-siraman air.
Tak jauh dari si ibu, beberapa orang pemuda asyik ngobrol sesama mereka. Entah apa yang mereka ceritakan, si ibu dan suaminya tak peduli yang terus asyik dengan cuciannya. Sesekali ibu melirik pemuda itu, mereka sambil ngobrol asyik tertawa. Mungkin mereka bercerita tentang acara lawakan di televisi tadi malam ? Atau bisa jadi mereka menceritakan dirinya dan suami sedang mencuci ? Mereka anggap kami ini aneh atau entah apalah dibenak mereka ? sangka bathin si ibu.
Tak disadarinya, suaminya juga ikut tersenyum tatkala orang-orang itu tertawa. Si ibu menghampiri suaminya ; “koq mereka tertawa, bapak ikut senyum sendiri ? Ada apa ? tanya ibu. “Enggak ada apa-apa? Jawab suaminya tersipu-sipu. “Lho, enggak ada apa-apa koq senyum sendiri ? paksa ibu. Setelah suaminya menjelaskan, si ibu pun ikut tersenyum. Ternyata pemuda-pemuda itu saling bercerita kisah mereka yang di labrak pacarnya karena ketahuan selingkuh. Akhirnya mereka diputusin pacarnya. Dasar anak muda zaman sekarang, celoteh si ibu.
Sungai Deli, adalah salah satu nama diantara delapan sungai yang mengelilingi kota Medan . Diantara nama-nama sungai yang ada yakni Sungai Deli, Sungai Babura, Sungai Sikambing, Sungai Denai, Sungai Putih, Sungai Badra, Sungai Belawan dan Sungai Sulang-Saling/Sungai Kera.
Kini nasib sungai Deli dan sungai lainnya tinggal kenangan. Debit air kecil dan keruh, sampah menumpuk dan aroma air sudah tak sehat. Di dasar sungai penuh lumpur dan ikan-ikan nyaris tak ada lagi. Tak ada lagi cerita dan tak ada kisah, kini sungai Deli sudah ditinggalkan.
Dulu, di sungai Deli ini pula, suaminya pernah menyatakan cinta. Sungai Deli menjadi saksi bisu menyatunya hati dua insan yang berbeda. Sungai Deli menyatukan silaturahhim bagi kaum hawa. Sambil mencuci, tak terasa obrolan cukup panjang. Walau tak sadar, terkadang gossip juga ada di sungai Deli.
Begitulah si ibu bercerita nostalgia dengan suaminya tentang sungai Deli. Sungai Deli menyimpan berjuta kenangan, bukan saja dirinya, tapi juga orang lain. Si ibu menutup kisahnya dengan ucapan kata; “suami ku tak mungkin kembali bersama kisah cintanya, tetapi kembalikan sungai Deli ku, agar kisah ku terulang bagi yang lain”. Ya, kembalikan sungai Deli ku, harap si ibu.

*Penulis,
Alumnus SMA Negeri 1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pasca Sarjana USU Medan. Website; http;//safwankhayat.blogspot.com. Email; safwankhayat@yahoo.com.

Azil si Semut Yang Menuntut Keadilan

Oleh,

Drs SAFWAN KHAYAT MHum


Alkisah menceritakan, hiduplah seekor semut sebatang kara yang terpisah dari kelompoknya akibat di terpa kencangnya angin. Sebelumnya semut-semut itu tinggal di balik luar sudut bawah dinding rumah tua yang telah lama ditinggalkan penghuninya. Suatu ketika datanglah gemuruh angin yang berputar dengan kencangnya. Seluruh benda yang ada terpental jauh karena dorongan angin yang dahsyat. Sekecap saja daerah itu rata di sapu sang angin tanpa terkecuali rumah tua tempat bermukim segerombolan semut. Sang angin dengan egonya meluluh lantakkan lokasi mereka hingga mereka bercerai berai. Ada yang terhempas ke barat, ke timur, ke utara dan ke selatan. Tapi, tak sedikit pula ajal menjemput akibat hantaman derasnya arus angin yang berputar ke kiri, ke kanan, ke depan dan ke belakang.

Sebut saja semut sebatang kara itu bernama Azil. Azil terlempar persis di tepi sungai yang tenang tanpa suara gemericik. Di sekitar itu ditumbuhi pohon pisang dan rumput hijau yang segar dan rimba. Mulanya Azil kebingungan sambil bergumam, “dimana aku berada” ? Sorot matanya tajam sambil melihat kiri-kanan. Aneh, sungguh aneh ..! herannya. Azil pun berteriak sekeras-kerasnya, bapak..! ibu..! dimana kalian..?

Tak ada suara jawaban. Malah Azil hanya mendengar balasan suaranya sendiri yang bergema di tengah kosongnya suasana. Azil berlari di atas kaki kecil dan tubuh mungilnya. Ia lewati gundukan tanah, batu besar dan rimbanya rumput hijau. Tak satupun Azil jumpai di tengah penelusurannya. Azil sedih karena terpisah dari keluarganya dan kerabat yang dicintainya.

Di tempat tinggal Azil yang dulu, masih ada cahaya remang lampu, bias dari cahaya lampu rumah penduduk di sekitar rumah tua itu. Walau cahaya remang, sedikit membantu Azil dan kelompoknya menelusuri setiap dinding rumah tua itu dan lintasan sekitar domisilinya. Di malam hari Azil menghabisi waktu malamnya bersama keluarga dan kerabat sambil bercanda tawa. Begitulah setiap detik, waktu, hari, minggu, bulan dan tahun berjalan penuh keceriaan.

Azil mulai ketakutan, karena di sekitarnya sunyi, sepi dan senyap. Suasana gelap tanpa cahaya remang lampu yang dulu ada. Tapi syukurlah, Azil sedikit terbantu oleh cahaya rembulan purnama menonjolkan kemolekan tubuhnya. Azil berusaha melawan rasa takut di tengah malam dengan hembusan angin dingin menusuk tubuh mungilnya. Ia lalui rimbanya rerumputan dengan harapan semoga ia bertemu sosok teman.

Kini, Azil jalani hari-harinya tanpa ibu, bapak, saudara dan karib kerabat. Dulu Azil dengan yang lainnya kerap bahu membahu membopong secuil bahan makanan untuk di santap bersama-sama. Mereka membentuk barisan yang teratur, derap kaki yang beriringan dan tegur sapa ketika berpapasan. Kini tak lagi ada, semua itu berubah, sebab kini Azil lakukan sendiri demi menggapai kelangsungan hidup lebih panjang. Azil harus bekerja keras mencari makanan penyambung hidup di area yang asing baginya. Apa saja Azil upayakan demi menghidupi tubuh kurus kecilnya.

Suatu ketika Azil ketemu rezeki nomplok. Dihadapannya ada seekor ikan terkapar lunglai persis di tepi sungai itu. Ikan itu terdampar ketepian hingga tak mampu lagi kembali di tengah sungai. Akhirnya ikan itu lunglai tak berdaya hingga datanglah kematiannya. Walau ikan itu tak terlalu besar, tetapi bagi Azil ikan itu cukuplah untuk makannya sebulan. Sebab Azil sadar, perutnya yang kecil tak mungkin menghabisi ikan yang besarnya seribu kali lipat dengan tubuhnya.

Azil percepat langkah kakinya seakan sudah tak sabar lagi melahap daging ikan segar itu. Ketika Azil tepat berdiri disamping ikan tadi, betapa ia terkejut sambil matanya melotot, “wah besar sekali ikan ini”? “Aku sudah tak sabar memakannya” ? gumam Azil. Perlahan-lahan Azil tarik ikan itu persis di bibir sungai dengan tenaganya yang ala kadarnya. Azil lakukan itu, takut kalau-kalau datang ombak air, maka ikan itu kembali terseret ke tengah. Dengan paluh keringat, akhirnya kerja kerasnya itu Azil berhasil. Tanpa basa basi, Azil melahap daging ikan itu. Mulutnya yang kecil seakan mau menghabisi seluruh tubuh ikan itu. Azil makan bagaikan keserupan. Ia berputar-putar tak tentu arah menikmati santapannya. Maklumlah, menu makan Azil tak pernah selezat ini. Azil bagaikan makan seekor ikan panggang dengan ramuan termahal di hotel berbintang lima. Dengan lahap Azil santap menu spesial hari ini. Tak ia sadari sejak ia mulai menikmati menu hotfish-nya, sudah lama makhluk sang pemangsa berdiri angkuh di sampingnya.

Azil kaget bagai di sambar petir ketika matanya menoleh ke sebelah tubuhnya. Ada dua kaki kokoh dengan jari yang kuat. Di ujung jari-jari itu tumbuh kuku-kuku tajam yang siap mencabik-cabik mangsanya. Lalu Azil angkat kepalanya ke atas sambil matanya terbelalak, rupanya sudah lama seekor burung Rajawali yang gagah berdiri tegak dengan sombongnya. Burung itu menatap Azil dengan tajam seakan ingin melahap tubuh kurus itu dengan paruhnya. Dengan beringas, Rajawali menghujamkan paruhnya ke tubuh ikan yang Azil makan. Hampir saja Azil tersambar tajamnya paruh Rajawali. Azil seketika terlempar dari tubuh ikan itu. Andai saja sedikit terkena, pastilah Azil patah tulang remuk redam.

Rajawali begitu lahap mencabik-cabik tubuh ikan miliknya. Azil marah dan kesal. Azil menggerutu sambil mengepalkan tangan seakan ingin menonjok kepala Rajawali. Tapi apalah daya, Azil hanya bisa bersedih karena tak mungkin Rajawali itu ia kalahkan. Jangankan memukul kepalanya, mendekati saja Azil sudah ketakutan. Andaikan pula ia memiliki keberanian, tak mungkin pula ia tonjok Rajawali itu. Sebab tubuhnya yang mungil, mustahil bisa melakukan senekat itu.

Seketika ikan itu habis dikunyah Rajawali. Jangankan dagingnya, tulang pun tak disisakan untuk Azil. Padahal, Azil-lah yang pertama menemukan rezeki itu. Azil pula yang bekerja keras menggiring ikan itu ke tepian. Dengan tangan dan keringatnya Azil upayakan tanpa bantuan siapa pun. Sedikit demi sedikit ia kumpulkan tenaga, akhirnya rezeki itu ia peroleh. Tapi dengan kekuasaan, keangkuhan dan kekuatan sang Rajawali merampas hasil jerih payahnya. Azil kesal karena tak mampu berbuat apapun. Tubuhnya yang mungil kecil tak mampu melawan sang predator yang kuat dan berkuasa. Azil ingin menuntut keadilan dengan menempuh jalur hukum karena haknya dirampas. Tapi nasibnya, tak ada lembaga yang mau mendengar keluhan jiwa seekor semut. Azil ingin meminta perlindungan Komisi Azasi karena hak azasinya dirampas, sayangnya tak ada pula Komisi Azasi untuk semut.

Akhirnya Azil hanya bisa mengelus dada sambil hatinya berkata, “beginilah nasib makhluk kecil yang tak berdaya”! Kami selalu kalah oleh kelompok yang berkuasa dan berkekuatan. Kami tak berdaya dan pasrah semoga keadilan berpihak kepada yang kecil”!

Azil pun kembali menelusuri kejamnya kehidupan. Azil yakin, suatu hari nanti pasti ada keadilan itu. Azil juga yakin pasti ada pula makhluk yang kuat dan berkuasa menyisakan makan untukknya walau sisa-sisa dari santapan mereka. Apa boleh buat, Tuhan menciptakan alam beserta isinya memiliki pelajaran yang bisa diambil manfaatnya, bisiknya.

Azil pun berdoa; “Tuhan, Engkau Maha Adil, bukakanlah ruang hati yang adil bagi makhluk ciptaan-Mu yang berkuasa dan berkekuatan kepada makhluk-Mu yang kecil dan lemah”. Amiin ya Rabbal Alamin.

Penulis, Alumnus SMA Negeri 1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pasca Sarjana USU Medan. Email; safwankhayat@yahoo.com

Kampanye si Dagangan Politik

Oleh

Drs SAFWAN KHAYAT MHum

Lima tahun lalu, rakyat memilih calonnya untuk duduk di kursi legislatif. Sungguh sebuah kursi elitis yang bahan baku terbuat dari suara rakyat, alas busa kekuasaan dan sandaran partai. Bungkusannya dilapisi kain politik yang diperindah dengan jahitan bordiran negosiasi. Semua mata “takjub” melihatnya, bukan karena indahnya tapi nilainya yang penuh ditaburi rupiah. Alangkah gemerlapnya bila seseorang menduduki kursi itu yang lengkap dengan fasilitas lainnya.

Tak sedikit pula rekening kontan mata uang rupiah untuk mendapatkannya. Itu pun tak cukup, harus ditambah pula dengan rekening giro janji-janji. Giro janji itu ada yang berjangka 6 bulan, 12 bulan hingga periodesasi 5 tahun. Giro janji itu digunakan untuk perbaikan jalan, pendidikan, kesehatan hingga rumah ibadah. Walau ada yang giro isi, tetapi tak sedikit giro kosong alias janji kosong.

Kursi ini di beli bukan di toko mebel atau gallery perabotan, tetapi dengan perjuangan kekuatan dan kekuasaan. Ruang pemasaran di buka dengan memasang gambar wajah harap, kata pilih, doa dan dukungan. Kursi pun dipasarkan di arena dagang politik secara terbuka. Si penjual mulai membentangkan dagangannya dengan menggenggam alat pengeras suara sambil berkata lantang. Mereka berharap dagangan politiknya laku terjual hingga orang berbondong-bondong menjatuhkan sikap belinya kepada di pedagang politik. Sungguh nyaris sama bagaikan bang Samirin ketika menjajaki dagangannya dengan obralan ekonomi di pasar.

Massa tumpah ruah di pasar politik yang telah di gelar. Kerumunan massa menuju titik kumpul yang telah di tentukan jadwal dan tempatnya. Beragam atribut berseleweran di jalanan persis seperti pawai karnaval yang mengundang perhatian massa . Teriakan, dan yel-yel lebur dalam sorakan ambisius tanpa memperdulikan keadaan sekitarnya. Jalanan macet karena dirambah padatnya kenderaan. Hukum lalu lintas ditabrak bias dari konvoi kenderaan aksi massa partai. Ada yang bergantungan di atas kenderaan mobil angkutan, pengemudi sepeda motor yang tak pakai helm, terobos lampu merah (traffic light), konvoi sambil berteriak terkesan menimbulkan sikap gaduh di jalanan dan sedikit mengganggu kenyamanan bagi pengguna jalan raya.

Kini kampanye telah di gelar dengan olahan kata yang dirangkai bagai puisi salju yang digerai di panggung politik. Tak satu kata yang tersisa, tak sedikit janji yang terucap. Tak ada kata yang berbilang semua lebur dalam dagangan politis yang dikerumuni massa . Orasi menjadi senjata utama guna meyakini produk dagangannya. Strategi, teknik dan taktik (Stratak) beragam pola yang penting dagangan laris terjual.

Terkadang sengaja atau tidak, ucapan pembusukan atas produk lain keluar tanpa pengawasan. Kemampuan berorasi menjadi senjata bagi sang penjual (juru kampanye) menyerang lawan politiknya. Etika, norma dan adab tak lagi bertahta sebagai basis kekuatan moral, tetapi yang muncul kental nuansa kepentingan untuk menang.

Rangkaian kata tersusun rapi, puisi yang di cipta terucap syahdu dan ayat-ayat Tuhan ikut terbawa dilantunkan hikmad. Semua itu menjadi “Stratak” yang direncanakan secara sistematis dan matang.

Kampanye bagian dari strategi mendulang suara. Ada yang digelar rapat umum atau kampanye terbuka, ada bentuknya tersembunyi dengan memberikan bantuan dengan pola dan jenis material tertentu. Kampanye metode dagangan politik dengan rekayasa modus yang disesuaikan dengan situasi. Berjuta uang habis terpakai, beribu orang turun ke jalan, beragam pola dilakukan demi mengejar setitik kepuasan. Berjuta janji terucap, berjuta harap pula di benak rakyat. Politisi tebar peduli, rakyat terpikat hati. Politisi mendapat kursi, rakyat terus menanti janji.

Kampanye bukanlah tujuan tetapi metode menuju tujuan. Kampanye hendaknya jangan melukai dan menyakitkan sebab perilaku itu melemahkan persatuan. Sampaikan yang benar walau tajam tapi tak meluai. Ajarkanlah rakyat berpolitik tanpa berniat mencabik-cabik. Politisi butuh suara, rakyat butuh murahnya harga. Politisi butuh kursi, rakyat minta bukti janji.

Hindari politik bagaikan membeli buah kuweni. Buah di pilih, di tekan dan di cium. Andai tak harum maka terbuanglah ia, jikalau harum maka dibeli buah itu. Bisa jadi, buah harum manis jika di buka isinya kelihatan busuk dan berulat. Terkadang buah yang di luar tajam kulitnya justru laris terjual yakni bagaikan buah durian dengan kulit yang tajam tetapi diminati banyak orang.

Gambaran buah ini tidak menjamin seseorang menyukainya. Bias jadi ada orang yang doyan kuweni, malah tidak suka bau durian apalagi memakannya. Tetapi cukup banyak pengagum durian walau kulitnya tajam melukai tangan. Jika buah itu matang dan andaikan rusak, tak ada durian busuk, yang ada durian asam. Tak ada kuweni asam, tetapi yang banyak kuweni busuk.

Agar tidak dapat buah yang asam dan busuk, pilihlah dengan cermat, teliti dan gunakan rasio memilih. Berkampanye tetap menjaga persatuan dengan memperkuat saling menghargai, menghormati dan tidak menyakiti. Harapan kita kualitas Pemilu tahun 2009 ini menghasilkan kualitas politisi yang beradab. Semoga..!!

Medan, 21 April 2009

P E N U L I S

Drs. SAFWAN KHAYAT M.Hum

*Penulis, Alumnus SMA Negeri 1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pasca Sarjana USU Medan, , Email; safwankhayat@yahoo.com. Website:http//safwankhayat.blogspot.com

Biarlah Hukum Bicara

Oleh,
Drs. Safwan Khayat M.Hum


Tak ada tempat bagi aksi anarkis di tanah air, tak ada maaf bagi mereka yang merencanakan pengrusakan dan pembunuhan. Tak satu ayat pun yang membenarkan anarkis hidup abadi di muka bumi. Sebab, ayat hukum Negara menentang perilaku anarkis, begitu juga ayat-ayat Agama melaknat anarkisme.
Kekerasan, penistaan, pengrusakan, penganiayaan dan pembunuhan adalah perilaku yang bertentangan dengan ayat hukum Negara dan ayat Agama. Hukum Negara mengatur kemaslahatan bermasyarakat, sementara Agama menafasi dimensi kemanusiaan dan keIlahiaan. Orang yang taat hukum Negara dan taat Agama, pastilah menjaga kemaslahatan bermasyarakat, berkemanusiaan dan berTuhan.
Tragedi 3 Februari 2009 bukti dari ketidaktaatan terhadap ayat hukum Negara dan ayat Agama. Gedung di rusak, nyawa melayang. Hukum ditabrak demi kepuasan amarah kepentingan. Kemanusiaan pun tak lagi jadi pedoman, dikalahkan oleh perilaku kekerasan dan kekejaman yang berujung kematian. Syahwat bergaya preman mendominasi syahwat keimanan. Begitulah kalau aliran darah emosional lebih kuat menguasai aliran darah rasional.
Demokrasi berujung menjadi DemoKukerasi. Demokrasi berubah menjadi Demoral Kreasi. Akibat anarkis, Demokrasi jatuh martabatnya menjadi demo crazy. Aspirasi dilapisi dengan rasa marah yang tak terjaga. Sikap marah yang tak terbendung akhirnya berbenturan dengan kasus pelanggaran hukum. Sikap marah itu kini berakhir dengan rasa malu. Begitulah kenyataanya ketika aspirasi demokrasi disalurkan lewat demonstrasi sadis, brutal dan anarkis.
Demonstrasi bagian dari demokrasi, tetapi demonstrasi bukan satu-satunya cara menyalurkan aspirasi dalam berdemokrasi. Demonstrasi bisa disalurkan lewat tulisan, lukisan dan karya seni lainnya. Demonstrasi hendaknya tetap memegang teguh ayat-ayat kemanusiaan dengan cara yang santun, tertib dan bertanggung jawab. Ayat-ayat kemanusiaan adalah aturan tentang sikap saling menghargai sesama makhluk menurut ukuran dan kepentingannya. Sikap menghargai itu dengan tidak melecehkan, menyudutkan hak orang apalagi menganiayanya.
Tragedi itu meninggalkan luka yang panjang bagi ruang kehidupan berpolitik, berdemokrasi dan bermasyarakat. Riskannya lagi, luka itu semakin panjang manakala keluarga, kerabat dan sahabat almarhum Azis Angkat terbawa dalam hayalan, lamunan dan kenangan. Tak mudah di lupa, tapi pasti bisa kita lupakan. Walau terus terkenang, tapi hati tetap tenang.
Hapuslah duka kita walau kenangan sulit terhapus. Tegakkan kenyataan dengan sikap kesabaran dan keteguhan hati untuk tidak bertindak naif. Berikan kesempatan hukum meneliti atas segala pertanggungjawaban perilaku anarkis. Hukum sedang bekerja mengumpulkan bukti dan mengejar tersangka. Sorot mata hukum kini sama tajamnya dengan sorot mata publik. Tak satu kerdipan terlewatkan dalam sorotan mata hukum, sebab aktor anarkis terus menjadi prioritas hukum.
Hindari banyak bicara, biarkan hukum yang berbicara. Janganlah obral bicara karena hukum sedang berbicara. Hukum tidak mencari ”kambinghitam”, tetapi hukum sedang mencari tersangka. Biarkan hukum menginvestigasi keadaan, hindari keadaan menginvestigasi hukum.
Menahan Diri
Kini tersangka demo anarkis 3 Februari 2009 mulai tersangkut dengan jeratan hukum. Terali besi hukum sudah menahan sejumlah tersangka. Jumlah tersangka terus bertambah, karena hukum tak ada kompromi dengan pelaku anarkis. Kita harus menahan diri dengan menjaga ketenangan sosial. Menahan diri adalah bagian dari perilaku santun yang menyadari ayat-ayat kemanusiaan.
Kini hukum sedang mengembangkan pelidikannya. Temuan hukum menjadi bukti bahwa pelaku demo anarkis dan aktornya akan dijerat dengan unsur tuntutan hukum pula. Janganlah masyarakat mendahului menghukum sebelum lembaga hukum menjatuhkan keputusannya. Keputusan hukum harus kita hargai sepanjang kita masih membutuhkan hukum itu sendiri.
Kita dampingi Sumatera Utara dengan program pembangunan yang sedang berjalan. Kita hampiri Sumatera Utara dengan senyuman karena masih panjang lagi agenda pemerintah terhadap warganya. Jauhkan sikap marah yang tak beralasan, dekatkan rangkulan kepada pemerintah untuk meneruskan visi pembangunan. Hukum sedang bekerja menelusuri kasus anarkis, maka biarkanlah proses itu. Pemerintah sedang berbuat agar warga hidup sejahtera, maka dukunglah ia.
Hindari pernyataan yang sifatnya memicu permusuhan, tetapi lontarkan pernyataan yang sifatnya memacu persatuan. Perkataan yang kasar situasi menjadi gusar, berkatalah lembut maka keadaan tidak semrawut. Mari telusuri jalan kehidupan kedepan, sekaligus mempersiapkan bekal pembangunan untuk anak cucu kita, jangan lagi kita sibuk mengkoreksi pekerjaan orang lain, tapi berbuatlah sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.

Medan, Februari 2009
P E N U L I S

Drs. SAFWAN KHAYAT M.Hum

Penulis, Alumni SMA Negri 1, Alumni dan Dosen UMA, Alumni Pasca Sarjana USU Medan. Email; safwankhayat@yahoo.com