Kamis, 27 Agustus 2009

PSMS Ku, Menanti Matahari Terbit Kembali

PSMS Ku, Menanti Matahari Terbit Kembali

Menjelang siang tepatnya sang Matahari berada di ubun-ubun kepala, saya berniat balik di Mapolresta P Siantar setelah mengawasi anggota di lapangan sambil memantau situasi lingkar kota . Entah mengapa tanpa rencana, telepon seluler ku berbunyi muncullah nama di layar handphone seorang nama rekan sejawat yang bertugas di kantor Kejaksaan Simalungun. Telepon diangkat, singkat cerita aku meluncur ke ruang kerjanya..

Setibanya, kami berjabat tangan tersenyum sambil teman ku berucap, apa kabar bang Safwan ? Sehat, jawab ku mantap. Aku pun balik menyapa, abang bagaimana kabarnya ? Sama seperti abang Safwan, balasnya.

Beliau menyilakan aku duduk di kursi yang telah tersedia pada ruangan yang sederhana tetapi cukup enak dan sejuk karena ada airconditioner (AC) di ruangan itu. Bang Safwan minum apa ? tanyanya lagi. Saya sukanya air dingin, sambut ku. Koq minum es bang ? Nanti bang Safwan sakit, soalnyakan baru dari lapangan cuacakan cukup panas di luar ?, celotehnya. Gak apa bang, saya ingin minum dingin biar segar, jawabku.

Tak lama, datanglah minuman pesanan kami yang diantar seorang gadis yang berjualan di kantin kantor itu. Satu cangkir air dingin pesanan ku, sedangkan teman ku itu rupanya doyan kopi hitam yang kental. Eh rupanya, ada juga kue di atas piring kecil dengan cita rasanya yang enak.

Kami ngobrol santai tawa canda sambil sesekali meneguk minuman dan kue yang tersedia. Entah dari mana pembicaraan di mulai, tetapi kami serius membahas tentang masyarakat, hukum dan sesekali nyeleneh bicara politik.

Tak di sangka, teman ku itu bertanya di luar dugaan fikiran ku. Saya sedih lihat nasib PSMS Medan yang prestasinya tidak secemerlang dulu. Padahal, walau saya bukan orang Medan asli, tetapi PSMS sudah menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Utara, terangnya.

Aku kaget dan sangat shock, kenapa temanku menyinggung soal itu. Rupanya, setelah ku ikuti kata demi kata, beliau sangat mencintai tim kebanggaan kota kelahiran ku (PSMS), simpul ku.

Kami pun ngobrol soal PSMS Medan yang nama besarnya semakin pudar. Kekalahan sering dialami, sehingga memudarkan fanatisme dukungan bagi penggemarnya. Ciri khas permainannya pun tidak sekelas Ramli Yatim, Abdul Kadir, Nobon, Taufik Lubis, Suparjo, Sutrisno, Sumardi, Ricky Yakob dan skuad PSMS lainnya. Dulu, mayoritas tim PSSI dibanjiri pemain PSMS, sekarang paling hanya 2 orang saja, sesalnya.

Benak ku pun berputar, koq dia tahu nama-nama skuad PSMS zaman dulu, heran ku. Lalu ku simpulkan, betapa harumnya tim kota ku membawa harum provinsi ini ?

Tak terasa, obrolan kami menghabisi waktu ± 1 jam. Lalu kami berpisah sambil beliau berucap, lain waktu saya mampir ke kantor bang Safwan ? Saya tunggu ya ? sambut ku.

Aku pun balik ke Mapolresta P Siantar dengan mengendarai sepeda motor tua bermerk Honda Kijang C90 rakitan tahun 1970-an. Sepeda motor tua ini sering ku gunakan saat dinas di lapangan agar aku dapat lebih dekat dengan masyarakat.

Menuju Mapolresta, aku sampiri sejenak ada sejumlah warga sedang asyik ngobrol di warung kopi yang letaknya persis di bibir jalan. Ku parkirkan kereta butut ku persis di sebelah warung itu. Warga sontak kaget menyapa dan menghampiri ku.. Pak Safwan ada apa ke mari ? Ah enggak, cuma mau gabung minum teh, bolehkan ? tanya ku sok akrab. Bapak ini ada-ada saja, ya boleh la, kami pun senang pak Safwan mau duduk di warung ini ? sambut mereka. Lalu kami duduk berdekatan, aku pun mulai ambil ajang ku pesan air putih dingin lagi.

Seorang warga bertanya, dari mana pak ? Sepertinya baru ngontrol nich ? ingin tahunya. Oh ya, baru dari lapangan mengawasi situasi Kamtibmas kota ! tandas ku. Kami kaget lho, pak Safwan mau duduk di warung ? Kami kira ada yang mau ditangkap ? canda anak muda dengan lakon Bataknya. Kalian nich ada saja, saya kan juga sama seperti kalian ? jawab ku.

Kami pun larut dalam obrolan sambil menikmati segarnya minum teh manis dingin ku yang sedikit ditaburi abu jalanan. Tak kusangka anak muda yang suka mencandai ku tadi berceloteh. Pak Safwan, PSMS Medan tajinya sudah patah ya ? Mata ku terbelalak bagaikan mau copot. Koq sama ya pertanyaan anak muda ini dengan teman sejawat ku tadi ? heran ku. Aku semakin di cerca dengan tubian pertanyaan yang membuat dada ku panas dan kuping ku risih. PSMS Medan bukan lagi Ayam Kinantan, tapi ayam sayur ? seloronya tanpa memandang perasaan ku.

Aku ingin tahu apa motif pertanyaan mereka ini. Setelah ku investigasi, rupanya mereka fans berat dengan kesebelasan kesayangan ku. Mereka bangga dengan PSMS Medan walau mereka bukan anak Medan . Mereka sempat bernostalgia, tatkala PSMS Medan menjamu lawannya di Stadion Teladan datang jauh-jauh dari Siantar. Kami cinta dengan PSMS pak, sekaligus sedih nasibnya kini ? imbuhnya.

Dada ku yang panas perlahan-lahan dingin bagaikan tayangan iklan produk minuman yang dilakoni artis muda di televisi. Kuping ku tak risih lagi mendengar celoteh kolot mereka. Aku pun menyikapinya dengan sabar dan sadar bahwa beginilah nasib PSMS ku ? perih ku.

Ku lihat jam tangan ku sudah pukul 14.12 siang. Rupanya aku sudah 45 menit duduk bersama mereka. Aku pamit balik ke kantor sambil berjabat tangan akrab. Pak Safwan jangan marah ya dengan seloroh kami tadi ? harap pemuda yang buat dada ku panas tadi. Ah enggak, memang PSMS keadaannya ya begitu ! sambut ku.

Ku engkol sepeda motor butut ku dengan kecepatan 60 KM/jam. Maklum kereta tua tapi unik dan antik. Aku pun di lepas mereka dengan senyuman dan lambaian tangan.

Setiba di Mapolresta, aku langsung menuju ruang kerja ku dan duduk lesu terdiam. Ada apa dengan ku, mengapa hari ini orang-orang menyinggung tim kebanggaan ku ? sesak ku dalam dada. Apa yang harus ku lakukan, kalau kecintaan mereka semakin pudar di telan memudarnya nama besar PSMS Medan ku ? Lalu ku ambil pena dan secarik kertas putih polos. Ku goreskan pengalaman ini agar teman ku, saudara ku, keluarga ku dan orang-orang yang memiliki kecintaan dengan PSMS membaca keluh kesah ku.

Pena ku pun berbicara, PSMS ku harus bangkit sejaya dengan masa lalu mu. Jangan engkau hilangkan karisma mu yang mengharumkan kota ku, kota dia dan kota mereka. Sebab, PSMS bukan saja kebangkaan kota Medan , tetapi kebanggaan Sumatera Utara. Rupanya, mereka menanti terbitnya Matahari yang pernah menerangi persepakbolaan Sumatera Utara.

Pena ku seakan tak mau berhenti menuliskan satu persatu huruf kekecewaan. Apa salah mu hingga kau begini ? Kenapa kau ditelantarkan padahal jasa mu banyak ? Apa yang kita beri selayaknya PSMS telah memberi kejayaan dahulu ? Bisakah kita bangkitkan kedigjayaan PSMS ketika melumpuhkan lawan-lawannya dulu ? Banyak lagi celoteh sumpah serapah pena ku seakan tak mau berhenti.

Ku lihat jarum jam dinding tepat pukul 16.15 menit. Pena pun berhenti karena aku tersadar hendak shalat Ashar. Lalu pena ku tinggalkan menuju kamir mandi guna mengambil air wudhuk. Dalam ibadah ku berdoa; ya Tuhan, kapan Kau terbitkan lagi Matahari di kota ku ? Bisakah aku bersama teman ku membawa PSMS mengangkat kembali citranya yang menjadi kebanggaan kota ku ? Kepada Mu lah aku menyembah, dan kepada Mu lah aku memohon pertolongan ?


P Siantar Januari 2009
PE N U L I S
Drs Safwan Khayat M.Hum
*Alumni UMA dan Dosen UMA Medan, Alumni Pasca Sarjana USU, Mantan Kasatlantas Poltabes MS dan, Email ; safwankhayat@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar