Kamis, 27 Agustus 2009

Menata Medan Kota Peradaban

Menata Medan Kota Peradaban
Drs Safwan Khayat M.Hum



Sesungguhnya ada 2 (dua) segmentasi yang menjadi titik fokus dalam tulisan ini yaitu; pertama, mendeskripsikan kota Medan yang pertumbuhannya cukup pesat khususnya pada sektor perekonomian sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa). Tidak sampai disini saja, kota Medan juga produktif merias wajahnya dengan tatanan kehidupan penduduknya yang dinamis, toleran dan religius. Maka tidak heran bila dalam peristiwa tertentu, kota ini tampil bagaikan kota biru yang selalu mengkumandangkan alunan irama “zikir” yang bernafas budaya, agama dan kebangsaan. Walau didiami oleh kemajemukan penduduknya, kota Medan yang tumbuh sebagai kota Metropolis tetap menjaga nuansa keberTuhanan dari masing-masing pemeluknya. Sungguh sebuah tampilan kota yang representatif di masa kepemimpinan Walikota Medan Drs.H.Abdillah Ak.MBA dan Wakilnya Drs.H. Ramli Lubis. MM.
Kedua, menggagas pertumbuhan kota dengan menata kota Medan yang tertib, religius dan beradab. Untuk pembahasan ini memfokuskan tentang konsep dan arah pembangunan kota Medan yang lebih santun dengan memperhatikan aspek kepentingan kemanusiaan.

Sekilas Tentang Kota
Pada umumnya kota diartikan sebagai suatu permukaan wilayah pemusatan (konsentrasi) penduduk dengan berbagai jenis kegiatan ekonomi, sosial budaya dan administrasi pemerintahan. Secara lebih rinci deskripsi tentang kota meliputi lahan geografis utamanya untuk permukiman; berpenduduk dalam jumlah relatif banyak (besar); diatas lahan yang relatif terbatas luasnya; mata pencaharian penduduk di dominasi oleh kegiatan non-pertanian; sebagian besar merupakan kegiatan bergerak pada sektor jasa atau tersier (perdagangan, transportasi, keuangan, perbankan, pendidikan, kesehatan dan jasa lainnya), serta pola hubungannya antar individu dalam masyarakat dapat dikatakan lebih bersifat rasional, ekonomis dan individualistis.
Berbagai pakar sosiologi cukup banyak menguraikan analisis teoritik tentang defenisi kota. Grunfeld seorang pakar sosiolog berkebangsaan Belanda menggambarkan bahwa kota adalah suatu permukiman dengan jumlah kepadatan penduduk yang lebih besar, memiliki struktur mata pencaharian non-agraris dan tata guna tanah yang beraneka ragam serta ditemukan lokasi gedung yang berdiri tinggi dengan letak yang berdekatan.
JH.De Goode seorang ahli sosiolog perkotaan juga tidak jauh beda mendeskripsikan tentang kota. Analisis yang paling dominan ia uraikan mendeskripsikan ciri khas kota yaitu ; a) sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) dalam praktek ekonomi lebih dominan dan berperan besar, b) jumlah kepadatan penduduk relatif lebih besar, dan c) susunan populasi penduduk lebih heterogen.
Banyak sekali defenisi tentang kota yang dituliskan para pakar, tetapi konsep umum yang menjadi “kesepakatan” bahwa kota memiliki indikator tentang wilayah permukiman, tata ruang tanah, kepadatan populasi penduduk, perdagangan, lalu lintas dan transportasi, jasa keuangan dan perbankan, pendidikan, kesehatan, ekonomi industri, ekonomi non-agraris, telekomunikasi dan pola hubungan warga yang bersifat rasionalis, ekonomis dan individualistis.
Temuan Louis Wirth dalam penelitian catatan lapangannya (field notes) menjelaskan tentang kota ditemukan ;
Pertama, banyaknya relasi kota menyebabkan tidak memungkinkan terjadinya kontak-kontak yang lengkap di antara individu-individu. Di dalam masyarakat yang besar terjadi segmentasi hubungan-hubungan di antara manusia. Kalau jumlah relasi terlalu besar, maka orang hanya saling mengenal dalam satu peranannya saja; misalnya di antara pelayan toko dan pembeli, atau supir taksi dan penumpangnya, mereka tanpa perlu mengetahui sesuatu tentang keadaan keluarga masing-masing, atau pandangan hidup masing-masing pihak yang berhubungan itu.
Kedua, orang kota harus melindungi dirinya sendiri agar tidak terlalu banyak berhubungan yang bersifat pribadi dengan mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi terhadap waktu dan tenaga yang ada padanya. Ia juga harus menjaga diri terhadap potensi-potensi yang merugikan atau membahayakan dirinya pribadi dan keluarga, maupun kebudayaanya.
Ketiga, kebanyakan hubungan orang-orang kota digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu saja.
Keempat, orang kota memiliki sikap emansipasi atau kebebasan untuk menghindari dari pengawasan oleh kelompok kecil atas keinginan dan emosinya. Keadaan ini mengandung bahaya timbulnya semacam situasi anomi (keadaan yang kurang harmonis atau renggang dengan norma-norma yang dianut masyarakat).
Uraian ini bagi kota Medan cukup melekat dengan deskripsi tentang wajah perkotaan. Secara geografis kota Medan yang berada pada posisi 30 30’ – 30 43’ lintang utara dan 980 35’ – 980 44’ bujur timur berdasarkan sensus terakhir tahun 2005 mencapai ± 2.036.018 jiwa dengan kemajemukan budaya penduduknya seperti suku Melayu, Jawa, Batak, Mandailing, Tionghoa, Minang dan suku/etnis lainnya. Kondisi permukaan tanah cendrung miring ke utara yang tepatnya berada ketinggian 2,5 – 37,5 M di atas permukaan laut. Jumlah luas kota ini ± 265,10 km2 terdiri dari 151 kelurahan yang seluruhnya berada di wilayah 21 kecamatan yakni Tuntungan, Johor, Amplas, Denai, Area, Kota, Maimun, Polonia, Baru, Selayang, Sunggal, Helvetia, Petisah, Barat, Timur, Perjuangan, Tembung, Deli, Labuhan, Marelan dan Belawan. Menariknya lagi, kota ini juga dikelilingi 8 sungai yang melintasi kota yaitu Sungai Belawan, Sungai Badra, Sungai Sikambing, Sungai Pulih, Sungai Babura, Sungai Deli, Sungai Sulang-Saling dan Sungai Kera.
Pertumbuhan ekonomi kota Medan terbilang pesat, cukup banyak ditemukan berbagai gedung kokoh sebagai pusat bisnis, perkantoran, pendidikan, hiburan dan perhotelan (lihat Safwan Khayat, Tembakau Citra Popularitas Kota Medan di Mata Dunia, Harian Analisa, Medan, Rabu 26 Maret 2008, hal 28 & 32). Kebijakan pemerintah kota dalam mendorong tumbuhnya sektor kegiatan usaha mikro dan makro menstimulasi sejumlah kalangan investor untuk menanamkan permodalannya. Hal ini membuka peluang dunia usaha disamping tetap mempertahankan karakteristik kota Medan sebagai kota sejarah dan kebudayaan.
Pemerataan pembangunan tidak saja di seputar inti kota, tetapi juga telah merambah ke area lingkar luar inti kota yang dalam proses dinamika masyarakatnya telah bersentuhan langsung dengan masyarakat tetangga di luar kota Medan. Kondisi ini turut mendorong pemerintah kota memperbaiki infrastruktur yang ada dengan membuka seluruh jaringan akses yang dimiliki guna memudahkan penyebaran visi pembangunan khususnya dalam menambah dan meningkatkan taraf hidup warga. Berbagai bentuk kemudahan fasilitas, pelayanan administrasi pemerintahan dan bentuk-bentuk bantuan pemeerintah kota kepada warga dinilai positif sekalipun masih membutuhkan perbaikan kinerja yang lebih proporsional dan profesional.
Dengan jumlah kepadatan penduduk lebih dari 2 juta jiwa, pemerintah kota bersama unsur Muspida dan seluruh elemen warga kota mampu bekerjasama dan sama-sama bekerja menjaga dan mempertahankan kehidupan kota yang visionis, produktif dan agamais. Pemerintah kota Medan mampu merajut image terhadap warga kota dengan memberikan dorongan dan suggesti bahwa kota tidak akan mampu bergerak maju bila tidak dibangun kerangka bangunan yang silang dan saling bekerjasama. Kondisi menciptakan kepedulian yang seimbang sehingga memudahkan bagi pemerintah kota untuk menggerakkan potensi kota guna mewujudkan kehidupan perkotaan yang lebih sejahtera.
Disadari pula, gebrakan pembangunan pemerintah kota juga diperlukan beragam solusi pemikiran dan kinerja yang harus diperbaiki. Keadaan ini wajar untuk dicetuskan mengingat detik perdetik pertumbuhan kota yang kini telah menjadi kota Metropolis memerlukan perbaikan penataan yang lebih signifikan. Penataan kota tidak saja menata gerakan pembangunan fisik saja, tetapi jauh lebih terpenting dengan melakukan perbaikan sudut pandang dengan membuka cakrawala dialog melalui pendekatan perspektif kemanusiaan, budaya, politik, sosial-ekonomi, sejarah, idiologi pembangunan dan cita-cita kolektif warga. Ruang dialog ini harus lebih subur dan produktif antara pemerintah kota dengan warga kota khususnya hal-hal yang berkaitan dengan dinamika masalah perkotaan. Intensitas dialog juga dapat merajut keakraban, keserasian, jiwa besar, pemikiran holistik dan jernih dan sikap tanggungjawab. Lebih dari itu, intensitas dialog mempersempit gerak provokasi pihak ketiga dalam memecah belah keharmonisan pemerintah kota dengan warga sehingga menjauhi ruang konflik sosial.

Masalah Kota
Bila diindentifikasi permasalahan perkotaan yang krusial antara lain ; lahan pekerjaan dan kemiskinan, tata ruang tanah dan permukiman, jumlah kepadatan penduduk, kesehatan dan pendidikan. Tetapi yang tidak kalah pentingnya lagi, kota juga memiliki masalah yang teramat sulit dipecahkan yakni persoalan transportasi dan lalu lintas yang setiap hitungan detik pula terus berubah-ubah. Bertambahnya volume kendaraan tidak diimbangi dengan kondisi badan jalan yang terus menyempit sehingga tetap saja memiliki dampak sosial bagi kelancaran arus lalu lintas. Penyempitan badan jalan juga terasa tatkala tata aturan perpakiran yang kurang memperhatikan keadaan lapangan; parkir sembarangan; menurunkan dan menaikkan penumpang bukan tempatnya serta pemanfaatan badan jalan dan lahan trotoar yang terpakai untuk berdagang semakin melengkapi kesemrawutan lalu lintas kota. Akumulasi masalah kota inilah yang paling sering muncul bagi wajah perkotaan khususnya kota Medan.
Ada beberapa yang menjadi gagasan dalam tulisan ini sebagai bahan diskusi dalam menata kota ini menuju kota yang lebih manusiawi sehingga bernilai kekuatan peradaban yakni ;
Pertama, mengembangkan ruang akademik yang membawa warga secara psikososial membuka diri untuk berdialog dan bersosialisasi terbuka tanpa prasangka negatif. Ruang ini mewujudkan budaya tradisional bangsa kita yang penuh ramah tamah dengan sandaran etika demokrasi, budaya santun, saling menghargai dan merajut ketulusan guna membentuk kualitas fisik arsitektur kota yang menarik, tertib, religius dan beradab.
Kedua, memanfaatkan lahan tidur (kosong) inti kota dengan melakukan revitalisasi menjadi ruang terbuka (open space) sehingga berfungsi sebagai paru-paru kota, objek wisata inti kota dan sekaligus tempat aktifitas warga. Ruang kota menjadi lebih hidup, segar dan alami dengan kombinasi pembangunan fisik yang selaras dengan pembentukan karakteristik kegiatan warga yang manusiawi dan bermartabat. Tata ruang kota jangan terlalu mementingkan aspek pembangunan fisik kota saja, tetapi juga pula memperhatikan aspek pembangunan mentalitas kemanusiaan.
Ketiga, memanfaatkan trotoar hanya untuk pejalan kaki. Trotoar selama ini hanya dianggap sebagai acesories pelengkap jalan raya bagi kenderaan bermotor. Fokus pembangunan kota masih kurang memperhatikan kepentingan manusiawi bagi kenyamanan dan keselamatan pejalan kaki. Hampir tidak ada perencanaan dan perhitungan yang matang tentang pemanfaatan ruang trotoar ini. Semakin padatnya jumlah kenderaan bermotor tidak lagi menyisakan kepentingan jalur pejalan kaki dan jalur hijau. Pembangunan sarana jalan lebih banyak berpihak pada kepentingan kenderaan bermotor, padahal kota dapat menjadi hidup bila pembangunan harus berlandasan tolak ukur kemanusiaan. Perlu kita pertimbangkan secara serius bahwa sarana jalan untuk pejalan kaki adalah juga memperhatikan dan menghormati sisi kemanusiaan bagi pejalan kaki (yang tidak menggunakan atau memiliki kendaraan bermotor). Bila perlu, pemerintah kota membuat perdanya dengan membuat sanksi hukum yang tegas bagi siapa saja yang menggunakan trotoar yang tidak sesuai peruntukkannya. Atas dasar ini pula, pihak terkait dapat mengambil sikap agar pejalan kaki yang menggunakan trotoar tercipta rasa aman secara fisik yakni dapat berjalan dengan tenang tanpa merasa terganggu, dan rasa aman secara psikologis yakni tidak merasa khawatir atau takut karena telah difasilitasi oleh sarana penerang lampu (bila berjalan di malam hari) dan teduh bila di siang hari. Hal ini perlu diperhatikan kondisi trotoar bebas dari pedagang kaki lima dan sarana fisik umum yang dibangun diatas trotoar.
Keempat, menertibkan pedagang musiman dan pedagang kaki lima dengan membuka fasilitas infrastruktur yang mendukung dan layak buat mereka menjalankan usahanya. Biasanya pula para pedagang kecil ini sering memfungsikan fasilitas umum untuk kepentingan usahanya. Perilaku pedagang ini bukan saja mengganggu kenyamana pejalan kaki dan kenderaan bermotor, tetapi juga berdampak luas terjadinya kerawanan dan kemacetan lalu lintas jalan raya. Ruang sirkulasi pejalan kaki dan kenderaan bermotor menjadi menyempit bahkan bagi pedagang tertentu justru meninggalkan ruang kota menjadi tidak indah, kumuh dan berbau. Penertiban ini juga harus tegas dengan dasar keputusan tindakan yang lebih melihat aspek kepentingan manusiawi secara komprehensif.
Kelima, membuka jalan lingkar kota Medan guna mengantisipasi kesemrawutan jalan akibat pertumbuhan volume kendaraan yang tidak sebanding dengan panjang jalan. Jalan lingkar kota dapat mengurangi jumlah kenderaan yang bertonase besar seperti bus, truck yang hanya melintasi kota sekedar numpang lewat saja. Melintasnya kendaraan bertonase besar di dalam kota sangat mengganggu kelancaran aktifitas warga dalam berkendaraan dan membuat pengemudi menjadi stress, sesak nafas, memerihkan mata dan mengeluarkan suara gaduh.
Keenam, menjaga dan melestarikan arsitektur bangunan yang bernilai budaya dan sejarah. Walau terpacu dengan dengan gaya pembangunan fisik modrenitas, karya seni bangunan budaya dan bersejarah diharapkan tetap terjaga agar keutuhan fisik tetap terwarisi bagi generasi mendatang. Selain itu, pelestarian ini juga menjadi bagian dari situs sejarah yang tidak bisa kita abaikan, apalagi bagi bangunan yang ada telah memiliki usia puluhan dan ratusan tahun. Sekalipun termakan umur yang cukup renta dengan kondisi bangunan yang sedikit mengkhawatirkan daya tahannya, renovasi bangunan yang dilakukan hendaknya tetap mengikuti bentuk aslinya sekalipun komponen materialnya telah diremajakan. Bagi kawasan atau bangunan lama yang kurang tidak termanfaatkan dapat diupayakan melalui revitalisasi dan rekonstruksi fisik dengan pengalihfungsian yang strategis guna mendukung pertumbuhan budaya, sosial dan ekonomi kota. Mungkin kita bisa meniru Singapura melakukan pelestarian kawasan dan bangunan lama dengan pola modrenisasi kota sehingga mendatangkan kegiatan dan keuntungan sektor pariwisata.
Sekedar berilustrasi, mewujudkan kecantikan diri bukan sekedar merias atau memoles wajah dengan sejumlah alat kosmetik yang serba lengkap, mahal dan import. Kecantikan abadi adalah merias wajah hati yang tumbuh dari dalam dengan membuka diri berkomunikasi, berjiwa besar, berfikiran jernih, menjauhi prasangka, gemar menghargai dan tulus berteman. Begitu pula merias kota ini tidak cukup dengan tampilan lahiriah dengan membangun seluruh sarana fisik, tetapi membangun sara fisikis dengan berdialog secara intesif agar kita dapat lebih serius menata Medan kota peradaban. Amiin yaa rabbal alamin..!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar