Kamis, 27 Agustus 2009

HUT BHAYANGKARA KE 62

Minggu, 2008 Juni 29
HUT BHAYANGKARA KE 62
Refleksi Dirgahayu Polri 1Juli 2008
Kiprah Polri ; Antara Pujian dan Cacian

Kompol Drs Safwan Khayat M.Hum



Sepuluh tahun kiprah Polri dalam gerakan reformasi (1998 – 2008), upaya tuntutan agenda reformasi, penegakkan hukum dan HAM, pengawalan proses hak demokratisasi dan pemberantasan pidana korupsi masih membutuhkan proses perbaikan. Perlahan tapi pasti, upaya Polri bersama elemen bangsa dalam mempercepat tujuan reformasi terus bergulir seiring dengan perubahan paradigma dan kinerja Polri dalam sorotan masyarakat. Berbagai peristiwa yang terjadi di wilayah tanah air menuntut kinerja Polri yang profesional dalam menangani setiap kasus pelanggaran hukum. Tidak jarang pula ditemukan, kasus pelanggaran hukum dalam setiap penanganan Polri berbuntut berbagai penafsiran (multi interpretasi) dalam menilai hasil kinerja Polri.
Perubahan paradigma Polri sebagai bagian dari batang tubuh masyarakat dan bersama masyarakat mewujudkan agenda reformasi yang tertib, terukur dan beradab selalu beragam tanggapan. Di satu sisi kinerja Polri dibenci dan dicaci, tetapi Polri juga dirindukan dan dipuji. Polri harus mengantisipasi setiap tindakan yang mengarah anarkis, tetapi dibalik antisipasi tersebut sorotan tajam atas sikap Polri mengundang kritikan. Dilematis posisi Polri dalam menjalankan tugas pengamanan dan penegakkan hukum serta HAM mendesak kinerja Polri yang profesional.
Berbagai kasus pelanggaran hukum yang berhasil diungkap dan ditangani Polri tidak luput dari pujian. Terungkapnya jaringan teroris, sindikat peredaran narkoba, korupsi, cyber crime networking, illegal logging, illegal fishing, human traffiking, pembunuhan, pencurian dan perampokan telah menyertakan beragam sambutan positif. Bahkan keseriusan Polri memberangus habis praktek perjudian, prostitusi dan premanisme di setiap daerah yang getarannya dirasakan langsung masyarakat, disambut gembira seluruh masyarakat. Ungkapan suka cita, senyuman, tepuk tangan dan uluran tangan dalam membantu tugas Polri terus mengalir bagaikan hujan deras membasahi bumi menyuburkan setiap butiran tanah dan sehelai daun tanaman. Aliran air di setiap tetesan hujan dirasakan langsung manfaatnya hingga menghidupkan kembali pori-pori bumi yang lama kering kerontang diterpa panasnya bumi dan kejamnya kehidupan alam.
Dibalik semua ini, manakala Polri harus bersikap tegas atas segala bentuk tindakan yang mengarah munculnya gangguan keamanan dan ketertiban ─ bahkan anarkis ─ sikap cacian jauh melebihi kata pujian yang pernah dilantunkan. Tuduhan cacian mengalir bagaikan serangan wabah penyakit kolera hingga menusuk jantung profesionalisme Polri sendiri. Polri dituduh dalang kerusuhan, melanggar hukum dan HAM, menghalangi proses demokratisasi dan membantai aktifis demonstrasi. Polri dinilai arogan, memanfaatkan situasi mempertahankan kekuasaan dan melakukan kekerasan terhadap pihak tertentu dengan sikap keberpihakan kepada kelompok tertentu pula. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, Polri dalam pandangan segelintir orang adalah musuh yang menghambat tegaknya proses reformasi demokrasi.
Fenomena sosial inilah yang sering tampil dalam setiap pertanyaan dan pernyataan publik sosial bahwa kedudukan Polri selalu menjadi perhatian. Eksistensi Polri selalu berada antara pujian dan cacian ditengah pergumulan identitas dan kinerja Polri sebagai bagian batang tubuh masyarakat. Semakin Polri mendapat pujian dan cacian, semakin menunjukkan bahwa Polri nyata-nyata milik masyarakat. Jika kata pujian dan cacian tidak pernah lahir dalam tampilan peristiwa sosial ( social setting), maka analisis sosial terhadap Polri cukup rendah. Jika penilai plus dan negatif berjalan berimbang, maka analisis sosial memiliki siginikansi yang kuat.

Polri Ditengah Perubahan Moral Masyarakat
Dari dahulu hingga sekarang, posisi Polri sebagai moral safeguard masyarakat suatu keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Moral safeguard (penegak moral) yakni dengan memberikan penyuluhan dan motivasi kesadaran perilaku masyarakat agar menjauhi bentuk tindakan yang menyalahi norma hukum. Penegak moral berarti Polri juga sebagai penegak hukum yang senantiasa mengamati, mengawasi, mengarahkan dan mengambil tindakan atas segala bentuk penyimpangan perilaku yang dapat mengganggu, merusak dan menghancurkan tatanan stabilisasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
Pada posisi ini pula, Polri juga dihadapi adanya perubahan moral masyarakat. Berbagai modus operandi penyimpangan hukum senantiasi melingkari perubahan moral masyarakat ─ baik secara sengaja atau tidak. Kondisi ini merupakan tantangan Polri dalam menjalankan tugas sebagai penegak moral. Kiprah dan profesionalisme Polri dipertaruhkan secara terus menerus yakni dengan memperkuat basis sumber daya diri yang sadar, terampil, teruji dan dedikasi. Sumber daya diri yang sadar adalah sumber daya personil Polri yang senantiasa menyadari kelemahan dengan cara giat belajar memperbaiki diri dan mencari informasi guna menambah prestasi kerja. Sumber daya terampil yakni memanfaatkan dan menguasai fasilitas komunikasi dan teknologi guna mendukung tugas dan prestasi kerja sehingga menambah gairah dan hasil kerja yang terukur. Sumber daya teruji merupakan cita-cita Polri mampu menyelesaikan seluruh unit bidang kerjanya dengan membawa manfaat yang positif dirasakan langsung masyarakat. Sumber daya dedikasi adalah tanggungjawab, jujur pada diri dan menghormati pimpinan serta menghargai senioritas dalam setiap menjalankan tugas penegakan hukum.
Penegakkan moral tentu harus berawal dari dalam tubuh Polri sendiri. Kekuatan moral adalah jantung tegaknya hukum yang berkeadilan. Kekuatan moral menjadi pilar ampuh memberantas penyakit rakus, arogan, benci atas kritikan dan membebaskan diri dari polusi suap. Polri di mata masyarakat bagaikan ”Tuhan” yang tidak boleh salah dengan segenap tampilan moral panutan. Padahal Polri juga manusia biasa yang tidak luput dari kelemahan, kelalaian dan dosa-dosa sosial.
Pertumbuhan populasi penduduk yang padat, menyempitnya lahan tanah untuk pemukiman dan garapan, rendahnya angka keterampilan kerja dan mengkrucutnya peluang lapangan pekerjaan dengan daftar pertumbuhan populasi pengangguran ikut membawa dampak bagi perubahan moral masyarakat. Tingginya biaya hidup, sulitnya didapati kebutuhan pangan, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya akses bantuan kesehatan dan kecilnya biaya penghasilan menjadi catatan sosial persoalan masyarakat. Keadaan ini juga dirasakan personil Polri atas beban hidup yang dirasakan bersama masyarakat. Tugas dan tanggungjawab yang berat dengan senantiasa menjaga nama kelembagaan (korps Polri) di setiap tempat menjadi beban psikologis yang perlu menjadi perhatian semua pihak.
Di akui karena latar belakang tertentu, personil Polri ada ditemukan melakukan pelanggaran etika profesi dan hukum. Sikap yang arogan dengan mengawal dari belakang (back up) kegiatan bisnis illegal turut mempengaruhi citra Polri. Sedikit saja sikap personil menyalahi etika profesi dan hukum membawa dampak bagi nama kelembagaan. Kondisi ini sangat disadari Polri sendiri atas perilaku personil Polri di beberapa kesempatan tertentu.
Untuk memperbaiki citra Polri atas stigma masyarakat juga tidak mudah. Stigma masyarakat juga tidak bisa sepenuhnya dibenarkan apalagi disalahkan. Tetapi peran Polri sebagai penegak moral (moral safeguard) sudah menjadi tanggungjawab yang tidak bisa dilalaikan. Guna mendukung tugas ini Polri harus memperhatikan personilnya dengan melengkapi fasilitas kerja, pendidikan dan pelatihan profesi yang berkala, pembinaan mentalitas personil, gaji/honorarium yang menunjang, bantuan perumahan biaya murah dan bea siswa pendidikan bagi personil yang berprestasi. Semua ini sangat bermanfaat guna meningkatkan kinerja Polri yang profesional dan mengangkat citra Polri di hati masyarakat.
Penutup
Kini sudah 62 tahun Polri (1 Juli 1946 – 1 Juli 2008) berkiprah melakukan pelayanan dan penegakkan hukum di tanah air. Pengabdian Polri kepada negara dalam menegakkan keadilan di tengah masyarakat harus lebih baik lagi. Profesionalisme Polri adalah melindungi masyarakat dalam memerangi kejahatan tanpa refresif dan kekerasan. Dalam bertugas, personil Polri harus lebih banyak menggunakan pendekatan dialektik daripada otoktarik. Mudah-mudahan pendekatan dialektik dapat merajut kesatuan langkah dan tujuan Polri bersama masyarakat meningkatkan kesadaran hukum dan menegakkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Dirgahayu Polri, mari kita tingkatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai pengabdian kita kepada Ibu Pertiwi. Semoga Tuhan meridhai cita-cita masa depan bangsa kita dan menumbuhkan sikap bersatu yang utuh serta kesehatan bagi kita semua khususnya masyarakat dan Polri.

Siantar, 24 Juni 2008
P E N U L I S


Kompol Drs Safwan Khayat M.Hum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar