Kamis, 27 Agustus 2009

Azil si Semut Yang Menuntut Keadilan

Oleh,

Drs SAFWAN KHAYAT MHum


Alkisah menceritakan, hiduplah seekor semut sebatang kara yang terpisah dari kelompoknya akibat di terpa kencangnya angin. Sebelumnya semut-semut itu tinggal di balik luar sudut bawah dinding rumah tua yang telah lama ditinggalkan penghuninya. Suatu ketika datanglah gemuruh angin yang berputar dengan kencangnya. Seluruh benda yang ada terpental jauh karena dorongan angin yang dahsyat. Sekecap saja daerah itu rata di sapu sang angin tanpa terkecuali rumah tua tempat bermukim segerombolan semut. Sang angin dengan egonya meluluh lantakkan lokasi mereka hingga mereka bercerai berai. Ada yang terhempas ke barat, ke timur, ke utara dan ke selatan. Tapi, tak sedikit pula ajal menjemput akibat hantaman derasnya arus angin yang berputar ke kiri, ke kanan, ke depan dan ke belakang.

Sebut saja semut sebatang kara itu bernama Azil. Azil terlempar persis di tepi sungai yang tenang tanpa suara gemericik. Di sekitar itu ditumbuhi pohon pisang dan rumput hijau yang segar dan rimba. Mulanya Azil kebingungan sambil bergumam, “dimana aku berada” ? Sorot matanya tajam sambil melihat kiri-kanan. Aneh, sungguh aneh ..! herannya. Azil pun berteriak sekeras-kerasnya, bapak..! ibu..! dimana kalian..?

Tak ada suara jawaban. Malah Azil hanya mendengar balasan suaranya sendiri yang bergema di tengah kosongnya suasana. Azil berlari di atas kaki kecil dan tubuh mungilnya. Ia lewati gundukan tanah, batu besar dan rimbanya rumput hijau. Tak satupun Azil jumpai di tengah penelusurannya. Azil sedih karena terpisah dari keluarganya dan kerabat yang dicintainya.

Di tempat tinggal Azil yang dulu, masih ada cahaya remang lampu, bias dari cahaya lampu rumah penduduk di sekitar rumah tua itu. Walau cahaya remang, sedikit membantu Azil dan kelompoknya menelusuri setiap dinding rumah tua itu dan lintasan sekitar domisilinya. Di malam hari Azil menghabisi waktu malamnya bersama keluarga dan kerabat sambil bercanda tawa. Begitulah setiap detik, waktu, hari, minggu, bulan dan tahun berjalan penuh keceriaan.

Azil mulai ketakutan, karena di sekitarnya sunyi, sepi dan senyap. Suasana gelap tanpa cahaya remang lampu yang dulu ada. Tapi syukurlah, Azil sedikit terbantu oleh cahaya rembulan purnama menonjolkan kemolekan tubuhnya. Azil berusaha melawan rasa takut di tengah malam dengan hembusan angin dingin menusuk tubuh mungilnya. Ia lalui rimbanya rerumputan dengan harapan semoga ia bertemu sosok teman.

Kini, Azil jalani hari-harinya tanpa ibu, bapak, saudara dan karib kerabat. Dulu Azil dengan yang lainnya kerap bahu membahu membopong secuil bahan makanan untuk di santap bersama-sama. Mereka membentuk barisan yang teratur, derap kaki yang beriringan dan tegur sapa ketika berpapasan. Kini tak lagi ada, semua itu berubah, sebab kini Azil lakukan sendiri demi menggapai kelangsungan hidup lebih panjang. Azil harus bekerja keras mencari makanan penyambung hidup di area yang asing baginya. Apa saja Azil upayakan demi menghidupi tubuh kurus kecilnya.

Suatu ketika Azil ketemu rezeki nomplok. Dihadapannya ada seekor ikan terkapar lunglai persis di tepi sungai itu. Ikan itu terdampar ketepian hingga tak mampu lagi kembali di tengah sungai. Akhirnya ikan itu lunglai tak berdaya hingga datanglah kematiannya. Walau ikan itu tak terlalu besar, tetapi bagi Azil ikan itu cukuplah untuk makannya sebulan. Sebab Azil sadar, perutnya yang kecil tak mungkin menghabisi ikan yang besarnya seribu kali lipat dengan tubuhnya.

Azil percepat langkah kakinya seakan sudah tak sabar lagi melahap daging ikan segar itu. Ketika Azil tepat berdiri disamping ikan tadi, betapa ia terkejut sambil matanya melotot, “wah besar sekali ikan ini”? “Aku sudah tak sabar memakannya” ? gumam Azil. Perlahan-lahan Azil tarik ikan itu persis di bibir sungai dengan tenaganya yang ala kadarnya. Azil lakukan itu, takut kalau-kalau datang ombak air, maka ikan itu kembali terseret ke tengah. Dengan paluh keringat, akhirnya kerja kerasnya itu Azil berhasil. Tanpa basa basi, Azil melahap daging ikan itu. Mulutnya yang kecil seakan mau menghabisi seluruh tubuh ikan itu. Azil makan bagaikan keserupan. Ia berputar-putar tak tentu arah menikmati santapannya. Maklumlah, menu makan Azil tak pernah selezat ini. Azil bagaikan makan seekor ikan panggang dengan ramuan termahal di hotel berbintang lima. Dengan lahap Azil santap menu spesial hari ini. Tak ia sadari sejak ia mulai menikmati menu hotfish-nya, sudah lama makhluk sang pemangsa berdiri angkuh di sampingnya.

Azil kaget bagai di sambar petir ketika matanya menoleh ke sebelah tubuhnya. Ada dua kaki kokoh dengan jari yang kuat. Di ujung jari-jari itu tumbuh kuku-kuku tajam yang siap mencabik-cabik mangsanya. Lalu Azil angkat kepalanya ke atas sambil matanya terbelalak, rupanya sudah lama seekor burung Rajawali yang gagah berdiri tegak dengan sombongnya. Burung itu menatap Azil dengan tajam seakan ingin melahap tubuh kurus itu dengan paruhnya. Dengan beringas, Rajawali menghujamkan paruhnya ke tubuh ikan yang Azil makan. Hampir saja Azil tersambar tajamnya paruh Rajawali. Azil seketika terlempar dari tubuh ikan itu. Andai saja sedikit terkena, pastilah Azil patah tulang remuk redam.

Rajawali begitu lahap mencabik-cabik tubuh ikan miliknya. Azil marah dan kesal. Azil menggerutu sambil mengepalkan tangan seakan ingin menonjok kepala Rajawali. Tapi apalah daya, Azil hanya bisa bersedih karena tak mungkin Rajawali itu ia kalahkan. Jangankan memukul kepalanya, mendekati saja Azil sudah ketakutan. Andaikan pula ia memiliki keberanian, tak mungkin pula ia tonjok Rajawali itu. Sebab tubuhnya yang mungil, mustahil bisa melakukan senekat itu.

Seketika ikan itu habis dikunyah Rajawali. Jangankan dagingnya, tulang pun tak disisakan untuk Azil. Padahal, Azil-lah yang pertama menemukan rezeki itu. Azil pula yang bekerja keras menggiring ikan itu ke tepian. Dengan tangan dan keringatnya Azil upayakan tanpa bantuan siapa pun. Sedikit demi sedikit ia kumpulkan tenaga, akhirnya rezeki itu ia peroleh. Tapi dengan kekuasaan, keangkuhan dan kekuatan sang Rajawali merampas hasil jerih payahnya. Azil kesal karena tak mampu berbuat apapun. Tubuhnya yang mungil kecil tak mampu melawan sang predator yang kuat dan berkuasa. Azil ingin menuntut keadilan dengan menempuh jalur hukum karena haknya dirampas. Tapi nasibnya, tak ada lembaga yang mau mendengar keluhan jiwa seekor semut. Azil ingin meminta perlindungan Komisi Azasi karena hak azasinya dirampas, sayangnya tak ada pula Komisi Azasi untuk semut.

Akhirnya Azil hanya bisa mengelus dada sambil hatinya berkata, “beginilah nasib makhluk kecil yang tak berdaya”! Kami selalu kalah oleh kelompok yang berkuasa dan berkekuatan. Kami tak berdaya dan pasrah semoga keadilan berpihak kepada yang kecil”!

Azil pun kembali menelusuri kejamnya kehidupan. Azil yakin, suatu hari nanti pasti ada keadilan itu. Azil juga yakin pasti ada pula makhluk yang kuat dan berkuasa menyisakan makan untukknya walau sisa-sisa dari santapan mereka. Apa boleh buat, Tuhan menciptakan alam beserta isinya memiliki pelajaran yang bisa diambil manfaatnya, bisiknya.

Azil pun berdoa; “Tuhan, Engkau Maha Adil, bukakanlah ruang hati yang adil bagi makhluk ciptaan-Mu yang berkuasa dan berkekuatan kepada makhluk-Mu yang kecil dan lemah”. Amiin ya Rabbal Alamin.

Penulis, Alumnus SMA Negeri 1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pasca Sarjana USU Medan. Email; safwankhayat@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar