Kamis, 27 Agustus 2009

Pemulung Juga Punya Cita-Cita

Oleh,
Drs SAFWAN KHAYAT MHum

Siang itu, sinar surya terasa terik menyengat di kulit kota Medan. Berisiknya deru mesin, hiruk pikuk dan hilir mudiknya ikut menambah panas kelat-pekatnya suhu udara. Diperkirakan suhu udara saat itu menembus 350celcius. Padahal, satu jam yang lalu, hujan deras menyapa dan membasahi seluruh tanah kota ini. Masih terlihat bias hujan pada air sungai yang keruh berwarna kecoklatan. Masih tersisa kubangan air di jalanan yang berlobang akibat derasnya siraman hujan. Sungguh Tuhan Maha Adil atas seluruh ciptaan-Nya. Tuhan curahkan hujan agar alam berserta isinya tumbuh subur, segar dan berseri, lalu Tuhan lengkapi cahaya Matahari yang hidup memberi inspirasi.
Ketika hujan turun, pori-pori bumi kota Medan terucap kata syukur. Tatkala Matahari menyapa, seketika itu denyut jantung kota berdetak kencang. Panas terik menyengat kulit, tak urung niat bekerja di tengah terik walau situasi ekonomi sulit. Teriknya Matahari mengiris kulit, tak melemahkan diri memacu langkah untuk hidup berarti. Begitulah kalau niat sudah terpatri, hujan badai dan panas terik tak menghalangi obsesi diri.
Siang itu pula, seorang pemulung tua berjalan di atas kaki lemahnya menghampiri setiap onggokan sampah. Onggokan sampah ia kais mencari sesuatu jenis barang bekas yang bisa dijadikan uang buat sesuap nasi. Tak perduli di dalam tong sampah atau di parit (selokan). Tak perduli di hina, asalkan tidak mendapatkan rezeki dengan cara yang hina. Tak perduli bekerja tertekan, daripada bekerja menekan. Pak tua itu menyadari hinanya profesi, tapi berkahnya rezeki. Sesuap nasi bersih tak tercemari dari satu rupiah-pun hasil korupsi. Sesuap nasi menjadi darah daging tanpa cara menyakiti. Sesuap nasi berkah rezeki dan bersih di hati. Begitulah filosofi hidup pak tua si pemulung kota ini.
Tubuh kurusnya dibawa tanpa arah di atas kedua kaki kecil bersendal jepit. Sorot dua bola mata tajam seakan tak berkedip mengamati setiap jenis barang yang dituju. Rambut dan jenggot penuh uban, jelas menunjukkan betapa renta dirinya. Pak tua itu berkemeja biru corak garis putih dan bercelana panjang sejengkal dibawah lutut. Penampilan sedikit kumuh memikul satu buah kantong plastik dijadikan sebagai tempat pengumpul barang bekas, dan satu bundelan gulungan kain─sepertinya untuk pakaian pengganti.
Satu persatu ia kumpulkan barang bekas di jalanan. Ia raih, lalu ia masukkan ke kantong plastik itu. Ia pungut, lalu tersingkap senyum harap. Ia kumpulkan, lalu terbesit harapan semoga rezeki dapat.
Pak tua tak perduli dengan ancaman kesehatan, sebab dia merasa sehat. Padahal, satu pungutan, diikuti dua bunyi batukan dan dengusan tarikan nafas sesak. Tak punya uang untuk berobat, sebab mencari nasi sesuap perjuangan hidup terkadang nekad. Ia tak tahu, kalau pemerintah punya program berobat gratis. Ia pun tak tahu, kalau pemerintah sudah punya visi tentang rakyat tak sakit, tak lapar, tak bodoh dan punya masa depan. Maklumlah, baca koran tak sempat, mau nonton TV tak punya sahabat. Mungkin fikiran singkatnya terlintas, aku ini sudah sakit, kelaparan, bodoh dan tak punya lagi masa depan, gumam bathinnya. Kalau begitu, mungkin aku bukan rakyat, tetapi rayap berkumpul di tengah rakyat, sangkanya lagi. Begitulah bisik hatinya yang terlalu naïf, singkat, riskan, labil, apatis,
Ia tak tahu kalau calon DPR-nya sudah terpilih. Mungkin ia tak ikut memilih. Andaikan ia datang ke TPS, bukan mau beri suara nurani, tapi mau dikasihani. Bukan mau mencontreng, tapi di usir karena dianggap Gepeng (gelandangan pengemis).
Ia juga tak tahu dan mungkin tak perduli, saat ini orang sibuk membahas calon Presiden. Seorang calon Presiden yang bisa membuka lapangan pekerjaan, sembako selalu murah, BBM terjangkau, keamanan terkendali dan tak payah cari makan (isitilah anak Medan). Setiap hari koran nasional dan lokal membahas calon Presiden. Televisi ikutan pula meramaikan bursa. Padahal, Presiden RI sudah yang ke-lima (Suharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono), akan memilih yang ke-enam. Pak tua itu tetap saja pemulung. Yah ! Tetap pemulung.
Langkah kaki tak pasti dijejaki tanpa tujuan tempat, tapi yang ada di mana ada barang bekas disitulah ia berhenti. Pak tua itu terus berjalan dan terus melangkah. Enam belas (16) tahun ia tekuni sebagai pemulung. Artinya, 3 periodesasi Walikota, Gubernur dan Presiden RI telah berlalu, ia tetap pemulung. Selama 16 tahun pula, beribu bahkan berjuta ton barang bekas yang menjadi sampah ia kumpulkan menjadi komoditi uang. Selama itu pula ia temui hinaan, cacian, makian dan sumpah serapah atas profesi pemulung yang rendah dan tak bermartabat. Namun, pak tua tetap pemulung.
Bila Matahari pergi, tibalah Bulan secara bergantian menjalankan tugasnya. Pak tua mencari lokasi untuk melepaskan kelelahan. Tak perduli bersih, kumuh, gelap atau terang. Semua itu hanyalah momentum saja bagi dirinya. Asalkan lokasi itu teduh terbebas dari hujan, pastilah ia singgahi.
Suatu hari, pukul 21.00 WIB (malam), pak tua berhenti di sebuah bangunan tua yang letaknya di inti kota. Beberapa orang sudah mengambil tempat sebagai sandaran melepas lelah di malam itu. Di sudut bangunan terlihat ada 3 orang Gepeng sudah lebih dahulu tidur dengan beralaskan lantai dan selimut koran. Di tengah ada ibu tua yang sedang mengemas barangnya dengan karton kecil, rupanya ibu itu pemulung juga. Di dinding sebelah ada tiang pilar besar penyanggah bangunan ada seorang lelaki separuh baya duduk termenung sendiri. Sesekali ia menangis, tertawa dan bernyanyi. Lagunya beraliran corak dangdut. Pak tua pasang kuping lagu siapa yang dinyayikan lelaki itu. Ternyata lagu itu pernah kondang dinyayikan Mansyur S berjudul Pagar Makan Tanaman. Pak tua mencoba mendekat lelaki itu, ternyata seorang yang sedang terganggu jiwanya. Oh..!! wong gilo …! Bisik hati pak tua.
Ia lihat di sudut kiri masih kosong, belum ada seorang tuan yang menguasai tempat itu. Ia pun bergegas sambil menenteng barang bawaannya. Lalu ia sapu kotoran kecil di lantai itu dengan tangan keriputnya. Sedikit bersih memang, pak tua langsung merebahkan tubuh kurusnya.
Mata mulai sayu, badan terasa pegal dan kantuknya pun tak tertahankan. Detik per detik pak tua terkantuk-kantuk. Tiba-tiba, segerombolan anak funk dengan memegang alat musik gitar duduk di sebelah pak tua. Mereka berisik sekali. Tertawa, bernyanyi dan aneh saja tingkahnya. Pak tua merasa terganggu. Sontak saja ia tegur anak funk tadi.
Hai..! sudahlah, jangan berisik, aku mau tidur ? bentaknya. Dasar anak funk, mereka tak hiraukan pemulung tua itu. Pak tua bangkit disambut dengan empat kali dentuman batuk keringnya. Kalian nich, gak lihat orang lagi tidur ? kesalnya. Tidur sajalah pak, sudah tua cerewet ? balas mereka. Yang jawab tadi seorang gadis berkisar usia 16 tahun di dalam kelompok funk itu. Hanya ia sendiri saja gadis, 3 orang teman lainnya lelaki.
Pak tua itu pun mengoceh bagaikan seorang da’i kondang berceramah di layar televisi nasional. Kalian masih muda, manfaatkanlah waktu muda ini dengan kegiatan yang bermanfaat. Jangan sia-siakan waktu ini terbuang percuma. Nanti kalian menyesal, seperti aku yang tak punya masa depan, kata pemulung itu.
Kasihanilah diri kalian, karena kalau sudah tua takkan ada yang mengasihani diri kalian. Contohnya aku si tua tak berguna, sedihnya. Andai bisa ku putar waktu ke belakang, aku merubah cara hidup ku. Nak..! coba kalian fikirkan, harapnya
Gadis funk tersentuh hatinya. Wah, pak tua ini boleh juga ? sapa bathinnya. Keluarga bapak dimana ? tanya gadis itu. Aku sudah terbuang dari keluarga yang mencntai ku, jawab pak tua. Di masa muda aku suka bolos sekolah, mabuk-mabukan, narkoba dan entahlah, sesal bathinnya. Nak, janganlah buang waktu mu hanya demi kepuasan hati mu. Pemulung pun punya cita-cita, agar pemuda jangan seperti aku, terangnya.
Empat anak funk itu terdiam. Entah apa yang mereka fikirkan. Anak funk itupun tak lagi berisik lalu mengamil posisi tidur di samping pemulung tua. Pak tua pun ikut tidur sambil berkata, Pemulung juga punya cita-cita.

*Penulis, Alumnus SMA Negeri-1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pasca Sarjana USU Medan. Website; http://safwankhayat.blogspot.com Email; safwankhayat@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar