Kamis, 27 Agustus 2009

Setitik Darah, Hanya Untuk Sepatu Sekolah

Oleh, :Drs.SAFWAN KHAYAT MHum


Tak jauh dari bibir sungai Deli, berdiri sebuah rumah berukuran 6 x 15m dengan ornament eksterior kombinasi kayu dan batu, dipagari kayu bambu yang mulai lapuk serta beberapa tanaman hias nyaris tak terurus oleh pemiliknya. Disitulah Timpal Tarigan seorang pengemudi angkutan kota (Angkot) tinggal bersama isterinya boru Nasution dan sepasang anak (laki-perempuan) belahan hati mereka. Tarigan di bulan ini genap berusia 55 tahun, sedangkan isterinya 8 bulan lagi genap berusia 41 tahun. Usia yang terpaut 14 tahun ini tak menjadi penghalang bagi mereka dalam membina rumah tangganya. Justru, dengan kedewasaan Tarigan, mampu membimbing istrinya untuk memahami keterbatasan dirinya. Tarigan agak terlambat menikah. Sepasang belahan hati baru berusia 12 tahun dan 9 tahun. bukan saja lambat menikah, tetapi beliau juga terlambat mendapat karunia anak dari Tuhan.
Kehidupan Tarigan berjalan normal saja. Ia bekerja dan tekun beribadah. Setiap pagi belum bekerja mengemudi Angkot, isterinya selalu menyiapkan sarapan pagi dan kebutuhan dirinya. Di mulai dari secangkir kopi, sepiring nasi, sebatang rokok dan handuk kecil yang terus berganti setiap hari. Semua dilakukan isterinya dengan penuh ikhlas, cinta dan rasa abdinya kepada suami. Walau ekonomi pas-pasan, tapi Tarigan seorang ayah yang bertanggungjawab.
Tutur bahasanya yang khas keras tak berarti hatinya keras. Justru di mata boru Nasution, Timpal Tarigan seorang pria yang menarik, jujur, bertanggungjawab dan sayang dengan keluarga. Kedua anaknya, kerap bermanja-manja pada saat Tarigan sudah pulang kerja. Rasa capek hilang, rasa kesal buyar manakala ia bersama anak-anaknya berkumpul bercanda. Padahal, setoran angkot sering kurang, tapi kebahagiaan bersama keluarga mengalahkan persoalannya di pekerjaan.
Di suatu malam tepat pukul 22.15 WIB, Tarigan bercerita kepada istrinya bahwa besok Angkotnya mau di sewa untuk membawa rombongan perpisahan anak sekolah SLTP Negeri. Menurut rencananya, rute perjalanan di mulai dari halaman sekolah menuju lokasi taman hiburan dan rekreasi di Brastagi Tanah Karo. Sewanya lumayan, bisa buat setoran 2 hari dan sisanya bisa beli sepatu sekolah anak.
Isteri mengaguk setuju, dan semoga suaminya mendapat rezeki bisa beli sepatu sekolah anaknya. Sebab, sudah 3 tahun anaknya tidak ganti sepatu, apalagi tapak sepatu sekolah anaknya sudah berkali-kali dijahit alias tambal sulam. Begitulah rencana Tarigan andaikan besok ia mendapat rezeki dari sewa Angkotnya.
Tepat pukul 6.00 WIB, Tarigan sudah siap berangkat kerja. Mesin Angkot sudah dipanasi, sarapan pun sudah dilahap habis, kopi secangkir sudah kering, rokok sebatang tinggal busanya saja. Artinya, aktifitas sebelum bekerja semuanya sudah ia jalani di pagi itu. Sebelum kerja, isterinya menciumi tangannya dan anak-anak di ciumi pipinya. Sikap seperti biasa dilakukan ketika hendak berangkat kerja.
Tarigan pun mengambil kunci kontak dan langsung menghidupkan mesin angkotnya. Isteri dan anak melepas beliau di depan pintu rumah yang berukuran kecil tadi. Sambil melepas bekerja, si anak melambai tangan kepada ayahnya dan Tarigan menyambut lambaian tangan belahan hatinya. Tarigan berkata; Ayah kerja dulu ya ? Ia Ayah, hati-hati ? jawab anaknya. Pagi itu berjalan normal saja. Tak ada hal-hal yang luar biasa, karena Tarigan dan keluarga hanyalah orang biasa-biasa saja.
Singkat cerita, Tarigan membawa rombongan pelajar SLTP Negeri itu ke Brastagi. Perjalanan penuh asyik, canda tawa dan akrab. Mereka tiba kembali ke kota Medan tepat pukul 18.45 WIB. Diperjalanan tidak ada hambatan yang berarti. Seluruh perjalan lancar nyaris tak ada gangguan atau kendala. Setelah tiba, seluruh pelajar turun dan perjanjian sewa Angkot-pun dilunasi.
Tarigan sangat senang, gembira dan tersenyum lebar. Ia memperoleh rezeki yang lumayan hari ini. Ia berniat besok tidak narik dulu, sebab ia sudah berjanji mau beli sepatu sekolah anaknya.
Tarigan pun pulang dan langsung tancap gas. Sambil menyetir mobil tak urung sambil bernyanyi sebuah lagu yang sedang popular. Tentu saja lagu itu tidak lain adalah lagu anak medan. Tak sadar, Tarigan menekan gas Angkot-nya dengan kecepatan tinggi. Malam itu hujan sedikit lebat, jalanan licin dan sunyi. Tarigan tak perdulikan itu karena larut dalam luapan kegembiraan. Ia ingin cepat sampai di rumah. Karena syahwat kegembiraannya, Tarigan hilang kontrol diri mengemudi Angkotnya. Lobang-lobang di jalanan ia lalui saja, lampu merah dipersimpangan ia terobos dan safety belt tak dipakai.
Ketika mendekati rumahnya, ada simpang tiga yang selama cukup rawan kecelakaan. Tanpa basa basi, Tarigan sosor saja Angkot-nya, dan akhirnya, prakk…!! drum..!! Bunyi suara benturan yang cukup keras hingga mengejutkan warga sekitar. Angkot itu berbenturan keras dengan sebuah mobil Kijang Inova G yang datang kecepatan tinggi juga. Tubuh tarigan terpental keluar dan kepalanya menghantam kaca depan. Tubuhnya remuk redam, tulang lunglai dan darah mengalir deras.
Warga segera menolong Tarigan yang mulai kehilangan banyak darah dilarikan ke rumah sakit. Isteri dan anaknya betapa kaget dan shock mendengar musibah ini. Mereka langsung menuju rumah sakit menjenguk Tarigan sedang berjuang dengan maut. Untuk menyelamatkan jiwanya, trasfusi darah harus segera dilakukan. Persediaan darah di rumah sakit sangat terbatas. Stock yang ada juga tak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk Tarigan.
Darah isterinya tak sesuai dengan Tarigan. Berbagai upaya isterinya mencari donor bantuan, tapi usaha itu sia-sia. Sebab masih sedikit para pendonoh darah yang ikhlas memberikan darahnya. Tarigan butuh sangat butuh darah, sebab hanya itulah jalan yang bisa menyelamatkannya.
Salah seorang anaknya berusia 9 tahun memiliki golongan darah yang sama dengan Tarigan. Tapi anak itu masih terlalu kecil dan belum pantas untuk mendonor. Si anak terus menangis dan pasrah. Bathinnya terus berdoa semoga ayahnya selamat dari maut. Ia masih belum sanggup kehilangan ayahnya.
Tak disadari si anak berkata pada ayahnya dengan polos dan lugu. Ayah, ambillah darah ku ini untuk ayah. Aku siap mati memberikan darah ku demi sebuah sepatu sekolah. Andaikan ayah mati kehabisan darah, semua ini ayah lakukan demi sepatu sekolah, maka aku pun ikhlas menggantikan dengan darah ku demi kau bisa beli sepatu sekolah.
Tarigan hanya bisa mendengar sayup-sayup suara anaknya, karena seluruh tubuhnya tak berdaya. Akhirnya Tarigan menghembuskan nafas terakhir. Ia kehilangan banyak darah demi sepatu sekolah.
Menangislah isteri dan anak-anaknya ditinggal pergi selamanya oleh seorang ayah yang berjuang sampai darah terakhir demi sepatu sekolah. Andaikan ada stock darah, mungkin Tarigan bisa diselamatkan. Lalu si ibu berkata kepada anaknya; Nak, Jika kalian sudah dewasa, donorkan darah kalian untuk kemanusiaan. Sebab, setitik darah menjadi perjuangan demi sepatu sekolah bagi yang lain.

*PENULIS, Alumnus SMA Negeri-1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pascasarja USU Medan. Website; http;//Selalukuingat.blogspot.com. Email; safwankhayat@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar