Sabtu, 02 Januari 2010

Pedagang Kecil di Gusur, Pengusaha Enak Tidur

Drs SAFWAN KHAYAT MHum

Pedagang kecil di gusur, Pengusaha enak tidur
Pedagang kecil di pijak, Pengusaha banyak tak bayar pajak
Pedagang kecil dicampak, Pengusaha terus diajak
Biasanya setiap pagi, pak Regar masih sibuk menjajaki dagangannya di pasar. Di atas lapak meja ukuran 1 x 2 meter, beliau berdagang ikan segar yang dibelinya dari agen ikan yang datang langsung dari Belawan. Pedagang ikan itu bernama Renta Siregar, biasa orang-orang menyapanya dengan panggilan pak Regar. Aneka jenis ikan ditemukan di lapak meja dagangannya. Ada ikan gembung, ikan tongkol, ikan dencis, cumi dan jenis lainnya. Walau tak banyak, jenis ikan cukuplah terwakili seperti kebanyakan orang memakannya.
Hasilnya cukuplah buat modal besok, makan satu hari dan bayar uang tempat dan kebersihan kepada pihak tertentu. Jika pak Regar sakit, digantikan oleh istrinya boru Hasibuan. Sebab satu hari saja tak berjualan, hari itu juga pasti tak makan. Beban biaya yang harus ia tanggung cukup berat, yakni membiaya 3 orang anaknya. Satu orang putri pertama duduk di kelas 3 SMK, 1 orang putri kedua kelas 1 SMU dan putra terkecilnya masih duduk kelas 5 di bangku SD. Untunglah, mereka sudah punya rumah kecil sederhana yang dibeli 12 tahun yang lalu hasil jual ladang warisan dari orang tua istrinya boru Hasibuan di Tapanuli Selatan sana.
Sejak penertiban yang berakhir dengan pergurusan pedagang, pak Regar kini tak berjualan lagi. Sampai hari ini, sudah terhitung 8 hari ia tidak berjualan. Lapak mejanya hancur, lokasi dagangannya kini di jaga petugas satuan polisi pamong praja (Satpol PP). Beliau kehilangan mata pencaharian dan langganan tetapnya. Sedikit demi sedikit hutang mulai berjalan, karena tak ada uang buat makan. Ingin mencoba jualan, tak ada tempat yang bisa didapati. Mau sewa toko, bagaikan hidup berjalan menghayal ke bulan.
Pak Regar kian hari kian resah. Mohon perlindungan agar nasib mereka di beri jalan keluar. Tak ada kata pasti, sementara kebutuhan hidup nyata-nyata penuh kepastian. Ada uang ada makan, tak ada uang perut keroncongan.
Bersama kawan-kawan senasibnya, pak Regar mencoba berembuk mengajukan persoalan hidup mereka kepada pihak berwewenang. Mereka hanya menerima jawaban serba tidak pasti juga. Mereka terima kalau dagangannya memakai badan jalan. Mereka sadar hak orang lain menjadi terganggu sehingga menimbulkan bau tak sedap, lalu lintas macet dan mengganggu keindahan kota . Tapi keadaan memaksa dan mereka juga tidak gratis berjualan begitu saja. Keseharian mereka dikutip bayaran dengan alasan uang keamanan, uang tempat, uang kebersihan dan uang perlindungan atau entah apa sajalah, yang penting bayar. Tapi setelah digusur, semuanya hilang, tak ada perlawanan, tak ada pembelaan dan tak jelas untuk apa pembayaran itu.
Pak Regar kian merenungi nasib. Kalau kami salah, kenapa harus kami saja yang dikorbankan. Kenapa pedagang di pasar tertentu tak menerima nasib yang sama seperti kami, padahal mereka juga berjualan memakai badan jalan dan mengganggu hak orang lain. Mengapa pula kawasan jalan tertentu dengan sederetan mobil yang dipajangkan di beberapa show room luput dari penertiban. Padahal pengusaha itu justru lebih banyak merampas hak orang lain. Mengapa pula tidak ditertibkan kawasan perparkiran yang merambah separuh badan jalan sehingga merampas kebebasan jalan bagi orang lain. Mengapa juga tidak diberantas habis pengusaha kelas kakap yang mengambil trotoar untuk kepentingan dagangannya. Sungguh tak adil hidup ini, gumam batin pak Regar.
Kami setuju penertiban harus ada korban, tapi janganlah ada yang dikorbankan. Penegakkan hukum biasa ada pengorbanan, tetapi kalau dipilih dan dipilah dalam penegakkan hukum maka tindakan ini ada yang dikorbankan. Ataukah kami tidak punya setoran besar sehingga kami yang digusur ? keluh pak Regar lagi.
Berapa banyak papan plank reklame juga merampas hak pengguna jalan. Tak terhitung bangunan bermasalah yang tak menghargai pengguna jalan. Pedagang kecil di gusur, pengusaha enak tidur. Pedagang kecil dipijak, pengusaha banyak tak bayar pajak. Pedagang kecil dicampak, pengusaha terus diajak. Begitulah kata pak Regar dengan tatapan kosong mulai tersenyum kecil sendiri tanpa ada orang lain di depannya.
Tatapan kosong itu memecah ketika telinga mendengar panggilan rintih dari anaknya yang kecil. Pak, aku lapar, tanya anaknya. Pak Regar lalu menghampiri istrinya. Ada nasi kita mak ? tanya Regar. Sudah dua hari aku tak masak pak, jawab rintih istrinya. Jadi dua hari ini anak-anak makan apa ? tanya pak Regar lagi. Entah lah pak, aku tak bisa jawab, sahut istrinya.
Pak Regar bertanya pada anak-anaknya. Dua hari ini kalian makan apa nak ? Kami Cuma minum air putih saja pak, jawab putri pertamanya. Tak kuasa air mata pak Regar berderai. Dengan segala cara pak Regar mencari nafkah agar anaknya jangan sampai kelaparan. Kini pak Regar mengumpuli barang bekas (botot) demi memenuhi sesuap nasi,untuk kelangsungan hidup keluarganya sambil bergarap ada mukzizat yang menghapirinya.

*Penulis, Ketua PD MABMI Medan, Alumnus SMU Negeri 1 Medan, Alumnus dan Dosen UMA, Alumnus Pasca Sarjana USU Medan, Email;safwankhayat@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar